Gelombang Protes Global dan Pesan untuk Pemerintah: dari Jakarta, Kathmandu, hingga Paris

Gelombang Protes Global dan Pesan untuk Pemerintah: dari Jakarta, Kathmandu, hingga Paris

ILUSTRASI Gelombang Protes Global dan Pesan untuk Pemerintah: dari Jakarta, Kathmandu, hingga Paris-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

GELOMBANG protes publik kembali mengguncang dunia. Dalam rentang waktu hanya beberapa pekan, aksi massa besar-besaran pecah di tiga negara berbeda: Indonesia pada akhir Agustus 2025, Nepal awal September, dan terbaru Prancis pada pertengahan bulan yang sama. 

Ketiganya berlangsung dalam konteks berbeda, tetapi memiliki benang merah. Yaitu, rasa frustrasi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil, berat sebelah, dan gagal merespons aspirasi warga.

INDONESIA: JALANAN SEBAGAI PANGGUNG POLITIK

Indonesia menjadi sorotan internasional setelah ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis turun ke jalan pada 25–31 Agustus 2025. Aksi itu dipicu oleh berbagai faktor. 

BACA JUGA:Gelombang Protes Massa di Nepal Parah, Pejabat Diserang, Rumahnya Dibakar

BACA JUGA:Gelombang Protes dari Guru Besar dan Dosen Unhas, Minta Jokowi untuk Berada di Koridor Demokrasi

Mulai isu kenaikan harga kebutuhan pokok, kontroversi kebijakan fiskal, hingga dugaan praktik korupsi di sejumlah lembaga negara.

Fenomena itu sejalan dengan analisis Aspinall (2005) yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia kerap menjadi katalis perubahan politik ketika legitimasi pemerintah melemah. 

Protes jalanan di Indonesia, dari 1966 hingga Reformasi 1998, menegaskan fungsi ruang publik sebagai arena perlawanan politik (Hadiz & Dhakidae, 2005).

NEPAL: KRISIS EKONOMI DAN BAYANG-BAYANG KORUPSI

Nepal menyusul dengan gelombang protes yang tak kalah besar. Ratusan ribu warga berkumpul di Kathmandu dan kota-kota lain. Mereka menolak kenaikan harga bahan bakar dan listrik. 

Krisis ekonomi yang melilit, diperparah dengan tuduhan korupsi dalam pengelolaan dana pembangunan, membuat rakyat kehilangan kesabaran.

Literatur menunjukkan bahwa negara-negara dengan demokrasi muda lebih rentan terhadap instabilitas politik yang dipicu oleh krisis ekonomi dan korupsi (Gyawali, 2020; Sharma, 2018). 

Protes di Nepal menegaskan bahwa legitimasi pemerintah bergantung pada kapasitas mereka menyediakan kebutuhan dasar rakyat –ketika pemerintah gagal, oposisi jalanan menjadi keniscayaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: