Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris

Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris

ILUSTRASI Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pertama adalah politik redistribusi yang tidak semata-mata berbicara tentang teknis menaikkan pajak atau memperluas bantuan sosial, melainkan tentang perombakan fundamental dalam hubungan produksi dan distribusi kekayaan. 

Hal itu mendobrak kerja-kerja kapitalisme yang sejauh ini menjadi paradigma ekonomi politik, meski tidak secara eksplisit, tetapi sebagai mode of domination yang secara struktural menempatkan surplus ekonomi di tangan segelintir kelas pemilik modal. 

Misalnya, program conditional cash transfer yang populer di banyak negara berkembang sering dianggap solusi kemiskinan. Padahal, sebagaimana dikritik oleh Standing (2011), bantuan semacam itu justru mereproduksi ketergantungan dan tidak menyentuh akar ketimpangan. 

Sebab, struktur kepemilikan tanah, aset, dan modal tetap terkonsentrasi di tangan elite. Oleh karena itu, redistribusi bukan kebijakan populis, alih-alih retorika politik, melainkan manifestasi pikiran dan kebijakan untuk menggeser relasi kuasa ekonomi-politik dari oligarki menuju rakyat. 

Nancy Fraser (2020) memperluas bahwa krisis kapitalisme kontemporer bersifat ”multidimensional”, yang artinya bukan hanya krisis ekonomi, melainkan juga krisis ekologi, sosial, dan politik. 

Karena itu, redistribusi tidak cukup dilakukan melalui alokasi distribusi pendapatan semata, melainkan harus membongkar bentuk-bentuk akumulasi yang tidak adil mulai dari privatisasi, eksploitasi tenaga kerja murah, hingga eksploitasi sumber daya alam dan ekologi. 

Dengan kata lain, politik redistribusi sejati menuntut dekomodifikasi: mengeluarkan sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan energi dari logika pasar.

Kedua, politik rekognisi sebagai dimensi keadilan yang sama pentingnya dengan redistribusi: keadilan tidak hanya berarti menghapus ketimpangan ekonomi, tetapi juga menghapus hierarki status yang mendiskriminasi kelompok sosial tertentu. 

Dengan kata lain, rekognisi adalah jawaban atas bentuk ketidakadilan yang lahir dari dominasi kultural, stigma sosial, dan invisibilitas politik. Hal itu sejalan dengan prinsip demokrasi sejati bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pengakuan martabat dan identitas rakyat. 

Rekognisi berarti memberikan ruang bagi kelompok yang selama ini dimarginalkan –buruh kontrak, petani kecil, perempuan, komunitas adat, hingga anak muda pengangguran– untuk tidak sekadar menjadi objek kebijakan, tetapi subjek politik. 

Misalnya, pengakuan atas hak tanah masyarakat adat bukan hanya soal legalitas, melainkan juga soal mengoreksi sejarah panjang perampasan tanah dalam logika ekstraktivisme. 

Di sinilah demokrasi bertemu dengan gagasan Amartya Sen (1999) tentang capabilities: demokrasi harus membuka akses bagi setiap orang untuk memperluas kapasitas hidupnya, bukan hanya soal untuk memilih dalam politik elektoral. (*)

*) Galang Geraldy adalah mahasiswa S-3 ilmu sosial, Universitas Airlangga dan dosen ilmu politik Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: