Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris

Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris

ILUSTRASI Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Data Asian Development Bank (2024) memperlihatkan bahwa 20 persen populasi terkaya Filipina menguasai hampir 48 persen pendapatan nasional, sedangkan 20 persen termiskin hanya menikmati kurang dari 5 persen. 

Sementara itu, tingkat kemiskinan nasional masih berada di kisaran 22 persen pada 2023. Harga beras –makanan pokok utama– melonjak hingga P60 per kg pada pertengahan 2025, tertinggi dalam satu dekade. 

Ketimpangan itu menegaskan bahwa meski Filipina mengeklaim sebagai negara demokrasi elektoral paling stabil di Asia Tenggara, realitas sosial-ekonomi justru memperlihatkan oligarki yang mengakar. 

Penelitian Thompson (2016) bahkan menyebut politik Filipina sebagai ”patrimonial oligarchic democracy” –di mana kekuasaan dipertahankan oleh segelintir keluarga politik kaya yang menguasai ekonomi dan pemerintahan. 

Artinya, protes massa di jalanan bukanlah gejala anomali, melainkan ekspresi dari kekecewaan mendalam atas demokrasi yang gagal menghadirkan keadilan sosial.

DEMOKRASI EMANSIPATORIS: JALAN KELUAR KRISIS

Jika dicermati, benang merah dari berbagai demonstrasi itu adalah kesenjangan ekonomi yang kian tajam, terutama justru di negara-negara yang mengaku diri demokratis. 

Negara yang memberikan ruang kebebasan sipil, tetapi struktur ekonomi tetap dikuasai kelas yang memiliki modal. Di tengah retorika pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan, realitas justru menunjukkan bahwa akumulasi kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, sedangkan mayoritas merasakan tekanan biaya hidup, pengangguran, dan ketiadaan jaminan sosial. 

Di dalam perspektif neo-Marxian, kontradiksi antara demokrasi dan kapitalisme itu bukanlah hal baru. Karl Marx sudah sejak abad ke-19 mengingatkan bahwa akumulasi kapital akan melahirkan krisis berulang dan memperlebar jurang kelas. 

Demokrasi liberal dianggap sebagai bentuk ”kediktatoran borjuasi” yang terselubung. Rakyat memang diberi hak memilih, tetapi kebijakan negara tetap mengikuti kepentingan kelas dominan yang menguasai alat produksi. 

Demokrasi yang hanya berputar pada logika pasar dan elite politik hanya akan memproduksi frustrasi sebagaimana tertuang dalam konsep precariat: kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian, kontrak tidak tetap, tanpa jaminan sosial, dan rentan eksploitasi. 

Itulah lapisan masyarakat yang kini menjadi basis utama demonstrasi di berbagai negara. 

Sementara itu, demokrasi di satu sisi memberikan ruang terhadap perjuangan kelas pekerja dan gerakan sosial untuk menekan redistribusi, mendorong reformasi sistem pajak progresif, jaminan sosial, dan pendidikan publik seperti di beberapa negara Skandinavia. 

Itulah peluang mekanisme kontrol untuk melawan dominasi, bahwa rakyat menuntut perubahan meski kerap dengan risiko represi dan kooptasi. 

Maka, gerakan itu berkelindan dengan upaya membawa demokrasi dari sekadar prosedur elektoral menjadi proyek demokrasi emansipatoris –sebuah model politik yang tidak berhenti pada pemilu lima tahunan, tetapi hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat melalui dua fondasi utama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: