Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris

Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris

ILUSTRASI Ledakan Ketimpangan Global: Jalan Menuju Demokrasi Emansipatoris.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Demokrasi di Persimpangan: Prabowo, Jokowi, dan Masa Depan Politik Indonesia Pascatransisi Kekuasaan

Rasio upah CEO terhadap pekerja mencapai ratusan kali lipat –sebuah simbol gamblang bagaimana kapitalisme neoliberal menciptakan jurang yang kian dalam.

Di Indonesia, meski pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5 persen, ketimpangan tetap menjadi persoalan laten. Rasio Gini Indonesia pada 2023 tercatat 0,388, menandakan distribusi pendapatan yang timpang (BPS, 2023). 

Di sisi lain, kekayaan 50 orang terkaya Indonesia naik menjadi USD263 miliar pada 2024, memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati segelintir elite. Kesenjangan makin nyata jika menengok rata-rata pendapatan per kapita Indonesia pada 2023 hanya sekitar Rp75 juta per tahun atau setara Rp6,2 juta per bulan. 

BACA JUGA:Bayang-Bayang Militer: Keseimbangan Demokrasi

BACA JUGA:Revisi UU TNI: Modernisasi atau Ancaman bagi Demokrasi?

Bandingkan dengan gaji rata-rata pekerja formal Indonesia yang berada di kisaran Rp3,54 juta per bulan (BPS, 2023), angka yang hanya sedikit di atas upah minimum dan sulit menopang kebutuhan hidup di kota besar. 

Sementara itu, anggota DPR bisa mengantongi total gaji dan tunjangan hingga Rp230 juta per bulan, dan seorang menteri bisa menerima take home pay hingga Rp150 juta per bulan. 

Artinya, dalam satu bulan seorang pejabat bisa menerima setara 42 kali lipat dari gaji rata-rata pekerja formal dan hampir 25 kali lipat dari pendapatan per kapita rakyat. 

BACA JUGA:Demokrasi Santun ala Prabowo

BACA JUGA:Demo Tegakkan Demokrasi

Ketimpangan semacam itu menjadi bahan bakar amarah sosial. Maka, tidak mengherankan jika berbagai aksi massa di Indonesia mengusung 17+8 tuntutan rakyat yang menyoal isu ketidakadilan struktural. 

Tuntutan itu mencakup pembekuan kenaikan gaji DPR, audit transparansi anggaran, hingga jaminan hak-hak dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan keadilan ketenagakerjaan.

Filipina menghadirkan wajah lain dari krisis struktural di Asia Tenggara. Gelombang demonstrasi yang merebak di Manila dalam beberapa bulan terakhir kerap dipicu oleh lonjakan harga beras, listrik, dan bahan bakar yang menghantam kelompok masyarakat bawah. 

Pada Agustus 2025, misalnya, ribuan mahasiswa dan buruh turun ke jalan, menolak kebijakan pemerintahan Ferdinand Marcos Jr. yang dianggap gagal menekan inflasi pangan dan tetap memelihara sistem politik oligarkis. Konteks ekonominya menunjukkan jurang yang dalam. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: