Wisatawan Bukan Penjajah Lingkungan

Wisatawan Bukan Penjajah Lingkungan

ILUSTRASI Wisatawan Bukan Penjajah Lingkungan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KITA masih berduka dengan banjir bandang 9-10 September di surga tropis Bali yang mengakibatkan 17 orang meninggal dunia dan 5 orang hilang. Mengiringi tragedi itu, banyak kalangan bersuara, salah satunya pesohor Aming. 

Dalam postingan media sosialnya, Aming mengkritik ”banjir Bali bukan bencana alam, melainkan bencana tata kelola…. Dulu kita menertawakan banjir Jakarta, seolah sangat yakin pulau surga ini mustahil banjir…. Alam hanya bekerja sesuai hukumnya, manusialah yang melanggarnya.”

Secara umum, tata kelola memang menjadi problem dari pariwisata kita. Namun, sikap dan perilaku wisatawan juga perlu disorot. Saya pribadi teringat dengan pengalaman berkunjung ke Kebun Binatang Surabaya beberapa tahun lalu. 

BACA JUGA:Menag Nasaruddin Umar Temui Penyintas Banjir Bali, Salurkan Bantuan Rp300 Juta

BACA JUGA:Presiden Prabowo Kunjungi Lokasi Banjir Bali, Dengarkan Keluhan Warga

Saya datang pagi, saat para petugas hampir tuntas menyapu area. Suasana nyaman, sejuk, dan tentu saja, bersih. Belum juga petugas selesai membersihkan sampah, seorang ibu dengan santainya menyelipkan sampah plastiknya di antara pepohonan! 

Padahal, tong sampah berjarak kurang dari 2 meter dari posisi ibu tersebut. Di waktu dan destinasi berbeda, amat sering saya menyaksikan pengunjung ngeloyor meninggalkan sampah mereka begitu saja. Duh!

Sebagai wisatawan, tujuan kita adalah mencari surga untuk melepaskan penat sejenak. Namun, tanpa sadar, sikap kita –seperti membuang sampah di sela-sela atau memilih resor yang berada di kawasan konservasi, menggunduli hutan/ gunung, dll– justru turut menyulut api masalah itu. 

BACA JUGA:Bali Banjir Lagi, Diterjang Berulang Bikin Warga Denpasar Trauma

BACA JUGA:Denpasar Banjir Lagi Setelah Hujan Lebat Semalaman

Banjir seperti tamparan halus dari alam, mengajak kita merenung dan mengubah pola pikir: bagaimana kalau perjalanan wisata kita bukan lagi soal foto dan video instagrammable, melainkan untuk mengenal dan menjadi teman bagi destinasi yang kita kunjungi?

Kita perlu mengingat kembali tentang ekotraveling, yakni sebuah cara bepergian yang ramah lingkungan sambil mendukung warga lokal. 

Melalui kacamata ekokritisisme –teori yang menelusuri relasi antara manusia dan alam, serta lebih spesifik lagi, ekokritisisme pascakolonial, kita bisa menguraikan upaya mengubah perspektif antroposentris yang eksploitatif ala kolonial menjadi ekosentris. 

BACA JUGA:Alih Fungsi Lahan 1.000 Hektare Disebut Picu Banjir Bandang Bali, 18 Orang Meninggal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: