Rahayu Saraswati dan Adab Berani Bertanggung Jawab

ILUSTRASI Rahayu Saraswati dan Adab Berani Bertanggung Jawab.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Tidak banyak pemimpin atau pejabat publik di Indonesia yang punya keberanian dan moralitas untuk tampil ke depan, kemudian memikul tanggung jawab atas keburukan yang terjadi dalam lingkup tanggung jawabnya.
Dalam konteks tingkah polah dan ucapan anggota DPR di atas, tidak ada satu pun yang berani memutuskan mundur atas kemauan sendiri.
Rahayu Saraswati adalah pengecualian. Pun, beberapa figur lain di era Presiden Prabowo Subianto yang dengan kesatria memilih mundur karena menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Sebelum Rahayu, utusan presiden yang juga pendakwah Maulana Habiburrahman yang akrab disapa Gus Miftah, memilih mundur karena candaannya terhadap seorang pedagang menjadi viral dan memicu kritik.
Ucapan kontroversial yang menimbulkan polemik juga pernah menimpa Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi. Ia pun sempat mengumumkan pengunduran dirinya, tetapi ditolak presiden. Akhirnya, Hasan Nasbi diganti Angga Raka Prabowo dalam reshuffle Kabinet Merah Putih.
Sikap dan perbuatan yang mencerminkan berani bertanggung jawab oleh para pajabat publik harus didukung secara luas. Ia adalah kompas moral yang mampu membimbing pejabat publik untuk tidak lagi bertindak atau berucap ceroboh. Bila dimaknai lebih luas, kompas moral itu adalah adab yang perlu ditiru.
Menurut berbagai sumber, adab sering kali disamakan dengan etika, moral, atau sopan santun. Meski memiliki keterkaitan, adab bermakna luas dan mendalam. Etika dan moral berfokus pada prinsip-prinsip benar dan salah, sedangkan sopan santun menekankan pada tata krama dan norma sosial.
Adab mencakup semua aspek tersebut dan lebih menekankan pada kualitas internal seseorang yang tecermin dalam perilakunya. Ia melibatkan kemampuan untuk berempati, menghargai perbedaan, dan bertindak dengan bijaksana dalam setiap situasi.
Dalam dinamika politik modern, khususnya media sosial yang sangat cepat menyebarkan informasi, perilaku atau ucapan figur publik seperti Rahayu harus mampu menyeimbangkan antara nilai tradisional adab yang mengedepankan keharmonisan sosial dan nilai modern kebebasan berekspresi.
Pengunduran diri Rahayu dapat dibaca sebagai bentuk pengakuan atas tanggung jawab moral atas dampak pernyataannya serta bentuk usaha memulihkan kehormatan dan kepercayaan publik, yang sangat dihargai dalam budaya Indonesia.
Lebih jauh, kasus itu juga mencerminkan bagaimana budaya politik modern di Indonesia, yang kian kompleks dan terbuka, menuntut adaptasi baru pada nilai-nilai adab dan moral.
Hal itu menantang para politikus, khususnya dari generasi muda, untuk mengelola komunikasi publik secara bijaksana tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya yang menjadi pegangan sosial.
Mundurnya Rahayu Saraswati bukan hanya peristiwa politik biasa, melainkan juga sebuah cermin nyata bagaimana nilai-nilai adab, moral, dan budaya yang melekat pada masyarakat Indonesia terus diuji dan diadaptasi dalam pergulatan dinamika politik modern dan media baru.
Pengelolaan nilai-nilai tersebut menjadi faktor krusial dalam mempertahankan legitimasi dan kehormatan seorang tokoh publik dalam konteks demokrasi dan perubahan sosial saat ini.
Menarik disimak di kemudian hari, masih adakah figur publik, pejabat publik, atau pemimpin-pemimpin di Indonesia yang punya keberanian dan moral untuk tampil ke depan dan memikul tanggung jawab terhadap sesuatu keburukan yang terjadi di dalam lingkungan tanggung jawabnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: