Kebijakan Kos Surabaya Picu Keresahan: Perlindungan atau Diskriminasi?

Kebijakan Kos Surabaya Picu Keresahan: Perlindungan atau Diskriminasi?

Suasana indekos di daerah Gubeng, Surabaya, Jumat, 26 September 2025-Tirtha Nirwana Sidik-Harian Disway

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Sejak Pemerintah Kota (Pemkot) SURABAYA mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pemilik kos-kosan dan rumah kontrakan meminta izin dari warga sekitar, terutama di permukiman padat.

Gema keresahan pun mulai terdengar. Bukan hanya dari pemilik usaha, tapi juga dari penghuni kos, banyak di antaranya perantau, pekerja harian, mahasiswa, dan pasangan tak resmi yang kini terancam karena kebijakan Pemkot.

"Kebijakan itu menurut saya itu ambigu. Sebagai perantau selama ini aman-aman saja, sebelum aturan tersebut keluar. Tapi begitu aturan dibuat, ada yang sampai terpaksa meninggalkan pekerjaan hanya untuk mengurus surat izin dan segala macam," ujar Yosep Jehata, perantau berusia 22 tahun itu.

Yosep menceritakan nasib rekan-rekannya yang harus berpisah sementara dengan istri dan anak karena tidak bisa memenuhi syarat administratif.

"Ada beberapa teman kos saya yang sudah tinggal bersama calon istri dan anaknya. Mereka belum nikah secara resmi, tapi secara adat sudah resmi. Biasanya karena kendala biaya, jadi belum urus pernikahan sesuai aturan negara," ujar perantau asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu.

BACA JUGA:Kos-Kosan di Surabaya Harus Berizin? DPRD: Butuh Payung Hukum, Bukan Cuma Surat Edaran!

BACA JUGA:Wajib Belajar Jadi 13 Tahun, Pemkot Dorong Anak Masuk PAUD


Petugas Satpol PP mengecek dokumen kependudukan milik penghuni kos saat menggelar operasi yustisi di sejumlah indekos di Surabaya, Senin, 22 September 2025-Satpol PP Surabaya-

Efen (sapaan akrab Yosep Jehata) menambahkan, bahwa setelah aturan tersebut diberlakukan, ada yang beberapa dari mereka harus tinggal berpisah sementara. Sembari menunggu proses izin selesai. 

Aturan yang mengharuskan pemilik kos mendapat persetujuan minimal sepertiga hingga dua pertiga warga RT/RW jika berada di permukiman dinilai oleh banyak kalangan sebagai langkah baik dalam menjaga ketertiban.

Namun, pelaksanaannya justru membawa masalah baru. Bagi penghuni seperti Yosep, aturan itu bukan soal keamanan atau moralitas, tapi soal kelangsungan hidup. 

Banyak dari mereka yang bekerja di industri padat karya, kuliah di kampus jauh, atau sekadar butuh hunian murah dekat lokasi kerja. Kini, mereka terancam kehilangan tempat tinggal. 

"Kenapa harus dipersulit? Kami bayar kos tepat waktu, tidak bikin ribut, tidak merusak fasilitas umum. Tapi cuma karena perbedaan itu, kami seperti dikucilkan?" tanya Efen.

BACA JUGA:Pemkot Kukuh Pembatasan KK, 847 Warga Diblokir Lantaran Ketahuan Tinggal Numpang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: