IPI Kota Surabaya Gelar Seminar Nasional dan Musda: Refleksi Literasi dan Regenerasi Kepemimpinan

IPI Kota Surabaya Gelar Seminar Nasional dan Musda: Refleksi Literasi dan Regenerasi Kepemimpinan

ILUSTRASI IPI Kota Surabaya Gelar Seminar Nasional dan Musda: Refleksi Literasi dan Regenerasi Kepemimpinan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Unair Library Club Xpo: Catatan dari Peringatan Hari Kunjung Perpustakaan

Untuk mendukungnya, perpustakaan diharapkan tidak lagi sekadar penyedia koleksi, tetapi menjadi pusat literasi yang inovatif dengan pendekatan digital, gamifikasi, serta program kreatif.

Sebenarnya, berbagai strategi yang selama ini dilakukan seperti program read aloud, booktalk, peer reading, journaling, pemanfaatan media sosial dan gamifikasi terbukti efektif dalam meningkatkan minat baca. 

Upaya pemerintah daerah, seperti yang dilakukan Kota Surabaya dengan menghadirkan taman baca, pojok baca, hingga fasilitas digital, menjadi contoh konkret bagaimana literasi dapat dikembangkan secara berkelanjutan. 

Namun, yang terpenting adalah bagaimana menumbuhkan minat baca tidak sekadar kegiatan membaca yang bertujuan untuk meningkatkan literasi, melainkan sebuah gerakan bersama untuk membangun generasi yang kritis, kreatif, dan berdaya saing. 

ABAD KELUHURAN DAN LITERASI BERBASIS INKLUSI SOSIAL

Sementara itu, Bambang Prakoso, menjelaskan bahwa di abad keluhuran yang merupakan era kejayaan akal budi di atas kemajuan teknologi, program literasi berbasis inklusi sosial, perlu merangkul semua lapisan masyarakat. 

Program itu sebaiknya tidak hanya menyasar kelompok orang dewasa, tetapi juga juga kelompok inklusi lainnya. Inklusi sosial berarti tidak ada pintu yang tertutup untuk anak-anak di pelosok daerah, penyandang disabilitas, lansia, masyarakat adat, serta kelompok-kelompok lainnya dan semua harus memiliki akses yang sama terhadap pengetahuan. 

Inklusi berkaitan dengan soal sikap kita dalam menghargai keberagaman cara belajar masyarakat, menghormati latar belakang budaya, dan memberi ruang bagi suara yang selama ini terpinggirkan. 

Dalam pemaparannya, Bambang memberikan contoh Caffe Abbimanyu Library, perpustakaan yang memadukan suasana kafe. Di sana orang bisa membaca sambil berdiskusi, menulis sambil menyeruput kopi, atau sekadar bertukar ide. Model seperti itu mematahkan stigma bahwa perpustakaan adalah tempat sunyi yang kaku. 

Literasi tidak lagi eksklusif untuk ”si kutu buku”, tetapi menjadi ruang pertemuan lintas profesi dan generasi untuk berdiskusi dengan nyaman dan mengikuti nuansa ”nongkrong” yang kekinian. 

Bambang menekankan gerakan literasi berbasis inklusi sosial tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh pihak-pihak terkait. Oleh karena pentingnya ”segitiga sinergi” antara Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), dan Balai Bahasa. 

Sinergi itu harus diwujudkan dalam program nyata seperti mengadakan bimtek literasi untuk pustakawan dan guru, pelatihan menulis berbasis konten lokal, kampanye membaca di ruang publik, dan digitalisasi koleksi. 

Tanpa sinergi, literasi akan terus menjadi proyek musiman yang mati sebelum berbuah. Literasi bukan sekadar keterampilan, ia adalah benteng terakhir peradaban. Bangsa yang literate mampu berdialog tanpa saling meniadakan, mampu berdebat tanpa saling menghancurkan.

Bambang menegaskan bahwa abad keluhuran literasi bukan utopia. Ia bisa menjadi kenyataan jika kita mau bergerak bersama. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: