Flexing, Soft Power Budaya Konsumerisme

Flexing, Soft Power Budaya Konsumerisme

ILUSTRASI Flexing, Soft Power Budaya Konsumerisme .-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Flexing berperan sebagai bahasa ekspresi sosial yang kuat, tempat anak muda menegaskan identitas dan citra diri sesuai norma-norma konsumtif yang tengah digemari.

Fenomena flexing erat terkait dengan budaya konsumtif yang makin kuat di Indonesia. Anak muda sering terdorong untuk membeli dan memamerkan produk-produk branded, liburan ke tempat mewah, hingga gaya hidup glamor lain demi mendapatkan pengakuan dan validasi sosial yang datang dari komunitas virtual mereka.

Algoritma media sosial pun memperkuat hal itu dengan menonjolkan konten-konten glamor berulang kali sehingga membentuk standar kesuksesan dan kehidupan ideal yang serbamewah. 

Tekanan dari teman sebaya atau peer pressure digital makin mengintensifkan kebutuhan untuk ikut flexing agar bisa terlihat setara dan dianggap berhasil. Tekanan tersebut tidak jarang melahirkan kecemasan dan stres, terutama bagi mereka yang secara finansial belum mampu memenuhi ekspektasi konsumtif tersebut.

Dalam konteks soft power, flexing dapat dipandang sebagai ekspresi daya tarik budaya konsumtif yang memproduksi pengaruh sosial melalui citra visual dan simbol-simbol kemewahan. 

Anak muda yang flexing tidak hanya menunjukkan apa yang mereka punya, tetapi juga berpartisipasi dalam pertukaran simbol budaya yang memperkuat norma dan nilai konsumerisme di masyarakat. 

Dengan kata lain, flexing merupakan sebuah medium soft power yang mengomunikasikan aspirasi, prestise, dan status sosial melalui konsumsi simbolis. 

Dalam ranah ini, soft power budaya konsumtif bekerja dengan cara memenangkan hati dan pikiran anak muda melalui representasi gaya hidup glamor yang menjadi standar sosial baru.

Namun, fenomena itu tidak terlepas dari paradoks dan dampak sosial negatif yang serius. Flexing rentan menciptakan ilusi kehidupan yang tidak realistis dan menimbulkan ketidakpuasan terhadap kondisi nyata. 

Ketika kehidupan sempurna yang dipertontonkan di media sosial tidak merefleksikan realitas, penonton dan pelaku flexing sama-sama berisiko mengalami tekanan psikologis seperti perasaan rendah diri, insecure, dan kecemasan sosial yang menggerogoti kesehatan mental. 

Selain itu, flexing menguatkan siklus konsumtif di mana seseorang terdorong untuk membeli secara berlebihan tidak semata berdasar kebutuhan, tapi untuk sekadar menaikkan citra sosial.

Tidak hanya itu, sisi gelap dari flexing adalah potensi pembatasan akses sosial dalam masyarakat. 

Ketimpangan ekonomi yang nyata justru diperparah dengan perilaku flexing yang memamerkan kemewahan, menimbulkan jarak pemisah yang kian kentara antara mereka yang mampu dan yang tidak. 

Dalam konteks ini, soft power budaya konsumtif yang dibangun lewat flexing sesungguhnya juga mengandung risiko memperkuat hierarki sosial dan menghalangi terciptanya inklusivitas sosial.

Kritik terhadap fenomena flexing sebagai sebuah paradoks soft power budaya konsumtif perlu menjadi perhatian publik dan para pembuat kebijakan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: