Flexing, Soft Power Budaya Konsumerisme

ILUSTRASI Flexing, Soft Power Budaya Konsumerisme .-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PENGGUNA INTERNET di Indonesia pada 2025 mengalami kenaikan bila dibandingkan 2024. Berdasar data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet mencapai angka 229,43 juta jiwa pada tahun ini.
Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan 2024 yang mencapai 221,56 juta orang. Aktivitas penggunaan internet masih didorong oleh media sosial, komunikasi daring, dan layanan publik.
Media sosial, belakangan ini, bukan hanya platform interaksi sosial, melainkan juga panggung besar bagi peragaan gaya hidup dan status sosial. Fenomena flexing (pamer kekayaan, gaya hidup mewah, dan pencapaian secara terbuka di media sosial) menjadi fenomena yang makin luas di ruang digital.
BACA JUGA:Mengenal Budaya Konsumtif dan Fenomena Flexing di Media Sosial
BACA JUGA:Perbedaan Personal Branding dan Flexing: Strategi Citra Diri atau Sekadar Pamer?
Flexing tidak hanya soal gaya hidup konsumtif, tetapi juga manifestasi dari paradigma soft power budaya konsumerisme yang tengah berlangsung di Indonesia.
Soft power, sebuah konsep yang diperkenalkan Joseph Nye, secara tradisional dipahami sebagai kekuatan halus suatu negara untuk memengaruhi melalui daya tarik budaya, nilai, dan kebijakan yang mampu membentuk keinginan dan persepsi pihak lain.
Nye kali pertama membangun konsep soft power dalam bukunya, Bound to Lead, yang dipublikasi tahun 1990. Soft power berbeda dengan hard power. Hard power merupakan suatu kemampuan untuk mengubah apa yang dilakukan orang lain menggunakan paksaan.
BACA JUGA:Flexing dan Dugaan Korupsi
Soft power mengedepankan kooptif atau kekuatan memilih, yaitu kemampuan utnuk mewujudkan apa yang diinginkan orang lain menggunakan bujukan. Hal itu dapat dilakukan melalui budaya, ideologi, atau pilihan politis.
Dengan begitu, hard power selalu dihubungkan dengan sifat komando yang menggunakan paksaan. Sebaliknya, soft power selalu dihubungkan dengan kooptif yang menggunakan nilai-nilai, kebudayaan, dan kebijakan.
Nye menjelaskan, soft power sebuah negara berasal dari tiga sumber. Pertama, budaya untuk menarik perhatian negara lain.
Kedua, nilai-nilai politik, menunjukkan bagaimana sikap pemerintahan baik politik dalam negeri maupun politik luar negerinya. Ketiga, kebijakan luar negeri yang menunjukkan bagaimana legitimasi dan otoritas moralnya.
Namun, dalam konteks media sosial anak muda Indonesia, soft power itu mengalami pergeseran makna. Bentuk soft power kini bisa juga dimaknai sebagai daya tarik simbol-simbol budaya konsumtif yang direpresentasikan melalui gaya hidup glamor dan luxury yang dipamerkan di ruang digital.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: