Mengenal Budaya Konsumtif dan Fenomena Flexing di Media Sosial

Mengenal Budaya Konsumtif dan Fenomena Flexing di Media Sosial

Fenomena flexing di media sosial yang sedang ramai, bisa menjadi sumber inspirasi atau justru mendorong perilaku konsumtif. --iStock

HARIAN DISWAY - Di era media sosial saat ini, fenomena flexing—mulai dari pamer barang branded, liburan mewah, hingga gadget terbaru—sudah menjadi bagian dari keseharian yang kerap dijumpai di layar.

Bagi sebagian orang, hal itu bisa jadi motivasi. Tapi tidak sedikit pula yang merasa tertekan karena takut ketinggalan tren. Jadi, apakah flexing sekadar gaya hidup atau hanya ikut-ikutan demi pengakuan?

Anda sudah tahu, flexing adalah istilah untuk menggambarkan kebiasaan pamer di media sosial. Mulai dari unboxing barang mahal, fashion luxury, sampai liburan mewah. 

BACA JUGA: Perbedaan Personal Branding dan Flexing: Strategi Citra Diri atau Sekadar Pamer?

Fenomena itu erat kaitannya dengan budaya konsumtif yang makin kuat. Disebabkan oleh dorongan media sosial yang memosisikan kebutuhan menjadi simbol status dan citra diri.

Fenomena flexing tentu tidak selalu bermakna buruk. Dari sisi positif, flexing bisa menjadi sumber inspirasi. Misalnya, ide fashion dari unggahan OOTD, referensi destinasi liburan, hingga motivasi untuk lebih produktif demi mencapai gaya hidup yang diinginkan. 

Banyak orang yang akhirnya terdorong bekerja lebih keras karena melihat pencapaian orang lain di media sosial.

BACA JUGA: Flexing dan Dugaan Korupsi

Namun, di balik itu, ada pula dampak negatif yang perlu diwaspadai. Tekanan sosial dan rasa takut ketinggalan (FOMO) sering kali membuat orang merasa harus ikut-ikutan. Meski belum tentu sesuai kemampuan. 


Budaya flexing di media sosial kerap membuat seseorang tertekan karena FOMO meski tidak sesuai kemampuan finansial. --iStock

Tidak jarang, muncul fenomena membeli barang mahal dengan utang atau cicilan hanya demi menjaga citra di dunia maya. 

Beberapa kasus viral, seperti konten flexing saldo rekening atau pamer barang branded yang ternyata hasil pinjaman. Menunjukkan bagaimana flexing bisa menjerumuskan jika dilakukan tanpa pertimbangan.

BACA JUGA: No More FOMO. Belajar Nikmati Momen Tanpa Harus Pamer di Sosmed

Tidak bisa dipungkiri, anak muda menjadi kelompok yang paling sering terjebak dalam budaya flexing. Dari sisi psikologis, ada dorongan kuat untuk diakui, diterima, dan dianggap “berhasil” oleh lingkaran pertemanan maupun warganet.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: