Benarkah Pidato di PBB Itu Penting?

ILUSTRASI Benarkah Pidato di PBB Itu Penting?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Prabowo Urutan ke-3 Pidato di Sidang Umum PBB, Bahas Solusi 2 Negara Palestina dan Israel
BACA JUGA:Prabowo Pidato di Mesir Bahas Koruptor: Kalau Kembalikan yang Kau Curi, Mungkin Dimaafkan
Pidatonya menjadi medium memperkenalkan Pancasila kepada dunia yang sedang terbelah oleh Perang Dingin. Bung Karno menggunakan panggung itu tidak sekadar mengartikulasikan posisi Indonesia, tetapi juga menggalang kekuatan negara-negara baru merdeka.
Podium PBB menjadi palu godam ideologis yang menghantam imperialisme dan kolonialisme. Sebuah investasi politik jangka panjang yang melahirkan Gerakan Non-Blok setahun kemudian.
Langkah serupa diambil para penerusnya. Soeharto, meski dengan gaya yang jauh berbeda, memanfaatkan forum tersebut sebagai corong Gerakan Non-Blok setelah KTT di Jakarta. Suaranya di PBB bukan hanya suara Indonesia, melainkan juga suara lebih dari seratus negara anggota. Megawati Soekarnoputri hadir pascatragedi 9/11, sebuah momen krusial.
Kehadirannya sebagai pemimpin negara dengan populasi muslim terbesar dunia menjadi pesan kuat melawan islamofobia yang sedang menguat. Pidatonya adalah sebuah branding strategis bagi Indonesia di tengah badai geopolitik.
Konsistensi paling nyata ditunjukkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir setiap tahun selama satu dekade pemerintahannya, SBY selalu hadir secara fisik. Kehadirannya yang rutin membangun citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang stabil, mitra dialog yang bisa diandalkan, dan pemain penting di kancah global.
Bagi para pemimpin itu, pidato di PBB adalah sebuah instrumen. Sebuah alat membentuk persepsi, membangun aliansi, dan menegaskan posisi tawar sebuah bangsa. Meninggalkan instrumen tersebut sama artinya dengan membiarkan narasi tentang Indonesia ditulis oleh pihak lain.
DIPLOMASI HASIL, BUKAN DIPLOMASI KATA
Satu dekade pemerintahan Joko Widodo menyajikan sebuah antitesis. Absennya sang presiden secara fisik dari podium New York –kecuali saat virtual di masa pandemi– bukanlah sebuah kelalaian. Hal tersebut adalah sebuah pilihan sadar.
Sebuah cermin dari filosofi diplomasi yang berbeda secara fundamental. Diplomasi ala Jokowi adalah diplomasi hasil. Prioritasnya bukan pada tepuk tangan di forum multilateral, melainkan pada angka investasi yang masuk, proyek infrastruktur yang berjalan, dan kesepakatan dagang yang menguntungkan.
Bagi pendekatan itu, waktu seorang presiden terlalu berharga dilewatkan dalam perjalanan panjang ke New York demi sebuah pidato 15 menit. Energi yang sama bisa dialokasikan menghadiri forum G-20 atau APEC, tempat negosiasi konkret dengan berbagai CEO dan pemimpin ekonomi dunia terjadi.
Diplomasi tidak diukur dari indahnya susunan kata, tetapi dari konkretnya dampak yang dirasakan rakyat. Pembangunan smelter, investasi pabrik baterai, atau pembukaan pasar ekspor baru dianggap sebagai capaian diplomasi yang jauh lebih substantif daripada sekadar menyuarakan pandangan di forum global.
Pendekatan itu melihat dunia dengan kacamata pragmatisme radikal. Hubungan antarnegara digerakkan oleh kepentingan ekonomi, bukan oleh sentimen atau pidato yang berapi-api. Dalam logika itu, kekuatan sebuah negara tidak lagi diproyeksikan melalui orasi, tetapi melalui stabilitas ekonomi, daya saing industri, dan kemandirian sumber daya.
Dengan demikian, absen dari panggung PBB bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah penegasan prioritas. Sebuah pesan bahwa urusan domestik dan kesejahteraan ekonomi rakyat adalah panggung utama yang sesungguhnya. Politik luar negeri menjadi pelayan bagi kepentingan dalam negeri, bukan sebaliknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: