Kebohongan Tersangka Pembunuh Gadis Alfamart: Ibunda Korban Mengatakan Pelaku Bohong
ILUSTRASI Kebohongan Tersangka Pembunuh Gadis Alfamart: Ibunda Korban Mengatakan Pelaku Bohong.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Teori Saxe itu sejalan dengan data Dewan Riset Nasional AS, menyimpulkan, ”hampir seabad (sejak sebelum 1990) riset psikologi dan fisiologi hanya memberikan sedikit dasar untuk ekspektasi bahwa tes poligraf dapat memiliki akurasi.”
Pada awal abad ke-19 poligraf alat pendeteksi tekanan darah orang. Kemudian, dilengkapi kemampuan mengukur respons galvanik kulit di tangan (keringat) seseorang. Kemudian, dikembangkan lagi mengukur laju pernapasan dan denyut nadi.
Selanjutnya diasumsikan, respons fisiologis itu menunjukkan apakah seseorang berkata jujur atau bohong. Pada dekade 1950 sampai 1960 di AS, poligraf digunakan mendeteksi kebohongan penjahat. Hasilnya tidak sepenuhnya akurat. Mengapa?
Saxe: ”Tes poligraf, pada dasarnya, mengukur satu hal: kecemasan.”
Ada dua jenis pertanyaan buat orang yang diperiksa poligraf. Pertanyaan kontrol dan pertanyaan relevan.
Pertanyaan kontrol, terkesan mengancam tapi tidak berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani. Contoh, ”Pernahkah Anda mencuri dari teman?”
Pertanyaan relevan, berkaitan dengan kasus yang sedang diselidiki penegak hukum. Contoh: ”Apakah Anda melakukan perampokan pada tanggal 17 Juni?”
Dari dua jenis pertanyaan itu, kecemasan orang terperiksa diukur. Asumsinya, kecemasan terperiksa akan rendah untuk pertanyaan yang relevan. Karena ia tahu, tidak berbohong. Sebaliknya, jika kecemasan tinggi, disimpulkan ia berbohong.
Saxe: ”Semua ukuran fisiologis ini terkait rasa kecemasan. Jangan lupa, orang terkadang merasa cemas ketika mengatakan yang sebenarnya. Sebaliknya, orang bisa tenang ketika berbohong. Makin terlatih Anda berbohong, makin sedikit kecemasan yang menyertainya.”
Dengan kata lain, menurut teori Saxe, tes poligraf terkadang akurat, terkadang keliru.
Alhasil, sejak 1998, pengadilan di AS tidak menerima hasil poligraf sebagai bukti hukum. Namun, penyidik perkara kriminal tetap menggunakan poligraf untuk memeriksa penjahat. Mengapa?
Saxe:"”Tidak penting, apakah tes tersebut benar-benar berfungsi atau tidak. Yang penting, tes tersebut dianggap efektif oleh semua pihak, baik penegak hukum, tersangka, maupun masyarakat.”
Salah satu kemungkinannya adalah keyakinan bahwa poligraf berguna sebagai alat peraga. Saxe menyebutnya sebagai ”teater interogasi”. Penegak hukum butuh teater interogasi demi membongkar misteri kejahatan.
Saxe: ”Jika pemeriksa melakukan teater interogasi dengan baik dan menipu subjek agar percaya bahwa kebohongannya terdeteksi, penjahat yang sebenarnya mungkin akan mengakui kejahatannya.”
Ia percaya bahwa bagi sebagian orang, ada faktor yang kurang ilmiah yang harus terlibat dalam mengungkap kejahatan. Yakni, sesuatu yang lebih menyerupai mitos atau agama daripada sains.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: