Ujung Tapal Batas Politik Bebas Aktif

Ujung Tapal Batas Politik Bebas Aktif

ILUSTRASI Ujung Tapal Batas Politik Bebas Aktif.-Arya-Harian Disway-

Masalahnya, syarat itu nyaris mustahil. Netanyahu dalam beberapa kali kesempatan telah secara terang-terangan menolak negara Palestina. Malah, aneksasi Tepi Barat jadi kebijakan resmi. Dengan realitas itu, ucapan Prabowo terdengar bukan sebuah strategi ”moderatisme” atau mencari jalan tengah, melainkan seperti sebuah pernyataan yang disengaja. 

BACA JUGA:Healing Prabowo

BACA JUGA:Menempa Pemimpin Indonesia di Panggung Global

Prabowo ingin tampil sebagai juru damai dengan resep ”two state solution”, tetapi dengan pendekatan yang berbeda dan inkonvensional untuk negara sejenis Indonesia. 

Apakah Indonesia siap mengubah haluan puluhan tahun kebijakan luar negerinya? Siapkah kita menanggung risiko diplomatik dengan dunia Arab, OKI, atau bahkan kalangan muslim dalam negeri? Atau, itu sekadar retorika agar terlihat moderat di mata Barat, khususnya Washington dan Paris?

Ucapan itu tidak berhenti di ruang retorika. Pernyataan Prabowo soal Israel-Palestina segera memicu perdebatan luas, bahkan menjadi tajuk media internasional. 

Tak butuh waktu lama, Kementerian Luar Negeri RI pun mengeluarkan klarifikasi bahwa posisi Indonesia tidak berubah: mendukung penuh kemerdekaan Palestina dan tidak ada rencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel. 

Fakta bahwa Kemenlu perlu turun tangan memperlihatkan betapa sensitifnya isu itu, sekaligus menyingkap jarak antara retorika presiden dan garis diplomasi resmi.

Kontroversi makin besar ketika beredar foto billboard di Israel yang menampilkan wajah Prabowo berdampingan dengan Donald Trump, Netanyahu, dan sejumlah pemimpin Arab dalam kampanye yang bertajuk ”Abraham Shield”. 

Terlepas dari benar atau tidaknya foto tersebut, banyak pihak yang menilai visual itu merupakan bagian dari kampanye publik yang berusaha mencatut citra presiden RI demi kepentingan narasi politik tertentu, bukan representasi atau sikap resmi. 

Kementerian Luar Negeri pun kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan posisi Indonesia tetap konsisten: tidak ada normalisasi kecuali Israel mengakui kemerdekaan Palestina.

Situasi sendiri sempat mencapai titik terang pasca-Amerika Serikat mendorong apa yang disebut ”21 Poin Peta Jalan Perdamaian untuk Kawasan” yang berisi rencana untuk mengakhiri perang di Gaza dan rekonstruksi Gaza pascaperang. 

Namun, Netanyahu sendiri telah menegaskan bahwa ia menolak mentah-mentah gagasan solusi dua negara yang telah menjadi inti dari banyak upaya perdamaian internasional. Dengan demikian, hal itu seolah berkontradiksi dengan realitas di lapangan: Israel menolak berdirinya suatu negara Palestina merdeka.

Di titik itu, politik bebas aktif tampaknya terjebak dalam sebuah dilema. Bebas, tapi berada dalam persimpangan arah. Aktif, tapi tujuan akhirnya masih dipertanyakan. 

Untuk dunia internasional, Indonesia bisa terlihat ramah di semua pihak. Namun, untuk publik dalam negeri, kata-kata itu rawan ditangkap sebagai bentuk ketidaksetiaan pada prinsip historis. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: