Hari Santri 2025: Antara Kemuliaan Pesantren dan Jerat Framing Negatif Media

Ilustrasi santri.-Muh Makhlad/Unsplash-
Ayat ini menjadi pondasi etika komunikasi Islam: verifikasi, kehati-hatian, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks digital, tabayyun tidak hanya berarti memeriksa sumber berita, tetapi juga menahan diri dari reaksi emosional dan membangun dialog beradab.
Santri memiliki peran strategis di sini. Mereka tidak boleh hanya menjadi korban framing media, tetapi juga produsen narasi alternatif menyebarkan kisah positif pesantren, inovasi pendidikan, dan kontribusi sosial.
Era digital membutuhkan "santri komunikatif" yang mampu menebar pesan dengan hikmah, bukan amarah; dengan mau'izhah hasanah, bukan hujatan.
Media dan Teori Framing: Ketika Pesantren Diframing Negatif
Dari perspektif akademik, kasus ini dapat dijelaskan melalui Teori Framing (Robert Entman) yang menyebut bahwa media memilih aspek tertentu dari realitas untuk ditonjolkan, lalu membentuk persepsi publik. Framing yang dilakukan Xpose Uncensored memperlihatkan pesantren dalam bingkai "tradisional, kolot, dan mistik", bukan "pendidikan moral dan intelektual".
BACA JUGA:Said Abdullah: Santri dan Pesantren Lampaui Stereotip, Jawab Tantangan Modernitas
BACA JUGA:Gresik Juara Umum MTQ Jatim, Gus Yani Beri Reward Rp813 Juta di Hari Santri 2025
Selain itu, Teori Agenda Setting (Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw 1968) menjelaskan bahwa media dapat memengaruhi isu apa yang dianggap penting oleh publik. Ketika pesantren diberitakan dengan cara sensasional, publik akan menganggap isu itu penting meski dengan persepsi yang keliru.
Dalam kajian etika komunikasi, istilah "communicative ethics" merujuk pada pendekatan yang memandang komunikasi sebagai sebuah aktivitas yang tidak sekadar mentransmisikan pesan, tetapi juga harus menjunjung kejujuran (truthfulness), keadilan (fairness), dan penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity). Pendekatan ini selaras dengan prinsip‑prinsip Islam seperti ṣidq (kejujuran), amanah (kepercayaan), dan ‘adl (keadilan).
Santri Digital dan Kemandirian Narasi Pesantren
Sebagai akademisi, saya meyakini bahwa pesantren hari ini telah menunjukkan kematangan dalam menghadapi arus informasi digital. Banyak pesantren telah memiliki literasi media dan strategi komunikasi yang kuat mulai dari pengelolaan kanal digital, kehadiran juru bicara, hingga penyebaran narasi keislaman yang santun dan mencerahkan.
Pesantren kini bukan lagi sekadar objek pemberitaan, tetapi menjadi sumber inspirasi dan rujukan moral di tengah hiruk-pikuk media. Kasus Xpose Uncensored justru memperlihatkan bagaimana komunitas santri mampu merespons dengan tenang, terukur, dan bermartabat.
BACA JUGA:Santri dan Sinema Bertemu di Pos Bloc: Festival Film Santri 2025 Resmi Dibuka, Tayangkan 142 Film
Gelombang klarifikasi yang muncul tidak dibangun dari kemarahan, tetapi dari kebijaksanaan dan semangat tabayyun nilai khas pesantren yang kini terbukti relevan dalam dunia komunikasi modern.
Kita bisa melihat banyak pesantren yang telah memanfaatkan media sosial dan kanal digital sebagai ruang dakwah dan edukasi. Dari konten dakwah kreatif di YouTube dan TikTok, hingga podcast keislaman dan portal berita pesantren, semua menunjukkan bahwa santri telah memahami esensi komunikasi masa kini: menyampaikan kebenaran dengan cara yang beradab dan menyejukkan.
Kolaborasi antara pesantren, akademisi, dan komunitas digital juga terus tumbuh. Bersama-sama mereka membangun ruang publik yang sehat, mendidik, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: