Diskusi di Taman Budaya Surabaya: Refleksi Gerakan 25 Agustus, Alarm Wakil Rakyat
Wakil Ketua DPRD Surabaya, Arif Fathoni-Istimewa-

Gedung Grahadi sisi barat saat dibakar massa pada Sabtu malam, 30 Agustus 2025.-Mohamad Nur Khotib -
Ia menyoroti krisis komunikasi publik sebagai akar dari renggangnya hubungan antara wakil rakyat dan konstituen. Menurut Suko, media sosial justru memperparah jurang komunikasi.
Alih-alih mempererat, algoritma justru menciptakan gelembung informasi yang membuat wakil rakyat hanya mendengar suara yang sejalan dengannya, bukan suara rakyat yang sesungguhnya.
"Kita harus berkomunikasi selayaknya manusia. Mari manfaatkan budaya arek Surabaya, ngobrol, cangkrukan, duduk bareng di warung kopi, dan terbuka untuk mendengar tanpa prasangka. Di situlah lahir kejujuran dan kepercayaan," jelasnya.
Diskusi malam itu membangun jembatan dari jalanan ke meja kebijakan. Para pembicara sepakat, Gerakan 25 Agustus adalah koreksi kolektif terhadap sistem politik yang mulai kehilangan sentuhan kemanusiaannya.
BACA JUGA:DPRD Surabaya Bergerak, Sweeping Pesta Gay!
BACA JUGA:DPRD Surabaya Bela Warga Kandangan tentang Konflik dengan PT SJL
"Gerakan ini adalah alarm moral. Kalau kita lalai mendengarnya, bisa jadi suatu hari rakyat berhenti bicara, dan itu jauh lebih berbahaya," tukasnya.
Anda sudah tahu, Surabaya adalah kota yang dikenal dengan semangat Arek-nya yang egaliter dan terbuka. Pesan Gerakan 25 Agustus seharusnya menjadi panggilan jiwa bagi setiap wakil rakyat.
Bukan untuk takut, tapi untuk merenung, mendengar, dan kembali. "Kalau masyarakat marah, jangan buru-buru merasa diserang. Itu pengingat agar kita kembali pada semangat pengabdian. Tanpa empati, kekuasaan kehilangan arah," ujarnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: