Reformasi Substantif Polri

Reformasi Substantif Polri

Yayan Sakti Suryandaru.-Dok. Harian Disway-

Di tengah upaya Polri memperbaiki diri pascarentetan kasus yang menggerus kepercayaan publik, dua kabar baik hadir sebagai harapan. Wacana reformasi Polri, yang terkadang terdengar sayup, kini menemukan momentum yuridis dan politis.

Publik masih menyimpan memori kolektif yang skeptis. Sindiran satir bahwa jika kita mencari sosok Jenderal Hoegeng, yang akan kita temui hanyalah "polisi tidur", adalah cermin keresahan yang mendalam.

BACA JUGA:Tim Reformasi Polri Susun Rencana Kerja Tiga Bulan, Fokus Serap Aspirasi Publik

Keresahan ini bentuk akumulasi dari berbagai "dosa" institusional yang puncaknya kita saksikan dalam kasus-kasus besar beberapa tahun terakhir.

Muncul fenomena kepatuhan masyarakat yang masih semu. Keteraturan seringkali lahir dari rasa takut akan simbol penegak hukum, bukan dari kesadaran.

Masyarakat tertib jika ada polisi, namun kembali abai saat tak ada pengawasan. Ini mengindikasikan, dalam praktiknya, Polri lebih sering tampil sebagai wajah kekuasaan yang represif ketimbang sebagai pelayan sipil yang humanis.

Di tengah pesimisme inilah, dua momentum hadir. Keduanya patut diapresiasi secara mendalam karena berpotensi mendorong reformasi ke level yang lebih substantif, bukan sekadar kosmetik.

BACA JUGA:Reformasi Polri, Antara Kebutuhan dan Sekadar Keinginan


Reformasi subtantif polri.--AI

Putusan MK jadi Momentum Yuridis 

Kabar baik pertama datang dari Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, seperti dilansir Hukumonline, MK secara tegas melarang anggota Polri (dan TNI) aktif untuk menduduki jabatan di lingkungan sipil, kecuali mereka memilih pensiun atau mengundurkan diri.

Putusan ini menjadi kemenangan besar bagi supremasi sipil dan penegasan kembali amanat Reformasi 1998. Seperti disorot oleh Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Unpad dalam Kompas.tv, putusan ini adalah bentuk pemulihan kerugian (remedy) atas kerugian konstitusional warga negara sebelum adanya putusan tersebut. 

BACA JUGA:Prabowo Minta Komisi Percepatan Reformasi Polri Bekerja Taktis dan Transparan

Praktik penempatan perwira aktif di pos-pos sipil telah melahirkan "dwifungsi” gaya baru yang menggerus profesionalisme Polri sekaligus mereduksi ruang sipil.

Seruan dari parlemen agar Presiden taat pada putusan ini, sebagaimana dimuat di laman jdih.dpr.go.id (2025), menjadi penegas bahwa "Indonesia Bukan Negara Polisi!" (politiestaat), melainkan negara hukum (rechtstaat). Putusan MK ini memberikan jangkar yuridis yang kokoh untuk mengembalikan Polri ke-khittah-nya.

Momentum Politis: Komisi Percepatan Reformasi Polri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: