Reformasi Substantif Polri

Reformasi Substantif Polri

Yayan Sakti Suryandaru.-Dok. Harian Disway-

Kabar baik kedua adalah langkah politik konkret pemerintah. Ini bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah langkah formal kenegaraan.

Pelantikan keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto adalah sinyal keseriusan terkuat yang ditunjukkan istana.

Penunjukan sosok sekaliber Jimly Asshiddiqie untuk memimpin komisi ini memberikan harapan besar. Jimly, seorang cendekiawan hukum dengan rekam jejak panjang dalam tata negara, adalah jaminan awal bahwa komisi ini tidak akan menjadi sekadar "macan kertas" atau komisi formalitas.

Kita tahu, upaya reformasi melalui mekanisme internal (seperti Itwasum) atau lembaga pengawas eksternal yang sudah ada (Kompolnas) seringkali terbukti tumpul.

BACA JUGA:Prabowo Lantik Ketua dan Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri

Mereka kerap terbentur pada dinding tebal "solidaritas korps" atau budaya ewuh pakewuh, dan lebih banyak berkutat pada penanganan kasus-kasus individual.

Seperti disoroti Kompas.id, masalah Polri saat ini bersifat fundamental dan sistemik. Oleh karena itu, kehadiran komisi yang dipimpin figur eksternal kredibel ini sangat krusial.

Komposisi keanggotaannya, yang (diisi oleh beragam pakar lintas disiplin, diharapkan mampu fokus pada kebijakan strategis, bukan lagi tersandera oleh "kasus-kasus receh".

Tugas mereka adalah membedah akar masalah struktural dan kultural di tubuh Polri secara independen dan tajam. Jika putusan MK adalah momentum yuridis yang memaksa pemisahan tegas, maka pelantikan komisi ini adalah momentum politis untuk membenahi "dapur" institusi Bhayangkara secara mendasar.

Polri harus Fokus

Polri harus difokuskan kembali pada tiga fungsi dasarnya: pemeliharaan keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum sipil. Tidak lebih.

Di sinilah kita perlu meninjau ulang peran-peran Polri yang beririsan dengan domain militer, seperti pelibatan Brimob untuk menangani Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

Situasi di Papua, yang oleh banyak pihak dilihat sebagai konflik separatisme bersenjata, idealnya masuk dalam ranah pertahanan negara (TNI), bukan ranah keamanan dalam negeri (Polri).

Penggunaan unit paramiliter Polri dalam operasi tempur mengaburkan batas antara penegakan hukum (law enforcement) dan operasi perang (warfare). Hal ini pun memperkuat identitas militeristik yang seharusnya sudah dilepaskan.

BACA JUGA:Prabowo Target Komisi Reformasi Polri Bisa Laporan Awal dalam 3 Bulan

Keberadaan pasukan elit dengan kemampuan dan persenjataan tempur ini adalah sebuah anomali. Ia melanggengkan identitas militeristik yang seharusnya sudah dilepaskan pasca Reformasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: