Soeharto sang Pahlawan
ILUSTRASI Soeharto sang Pahlawan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Soekarno menyadari sepenuhnya hal itu dan berusaha melakukan sintesis untuk menyatukan tiga kekuatan itu. Hal tersebut terlihat dalam artikelnya yang tersohor berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme (1926). Soekarno ingin menyatukan tiga kekuatan itu. Maka, ia pun memperkenalkan konsep nasakom: nasionalisme, agama, dan komunisme.
Iktikad baiknya itu tidak berjalan mulus. Tiga kekuatan tersebut tidak bisa dipersatukan. Upaya Soekarno untuk menjadi pemersatu malah berakibat fatal baginya. Ia dituduh sebagai bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang memberontak pada 1965.
Soekarno jatuh dan muncullah Soeharto. Jenderal pendiam yang tidak banyak bicara. Ia memegang peran penting dalam pergolakan yang penuh misteri pada 30 September 1965.
Sebagai komandan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), ia memegang posisi sentral. Namun, namanya tidak masuk daftar tujuh jenderal yang diculik.
Jared Diamond dalam Upheaval: How Nations Cope with Crisis and Change (2019) menyamakan Soeharto dengan Jenderal Augusto Pinochet di Cile. Dua-duanya jenderal pendiam yang tidak masuk hitungan. Tetapi, kemudian namanya muncul pada saat yang tepat dan kemudian memegang kepemimpinan.
Soeharto dan Pincochet sama-sama jenderal yang sangat antikomunis dan mempunyai hubungan dekat dengan Amerika Serikat (AS) melalui CIA (Central Intelligence Agency), agen rahasia AS.
Keduanya kemudian menjadi ujung tombak dalam perburuan untuk menghancurkan gerakan komunis. Soeharto menjadi ujung tombak di Asia Tenggara, Pinochet menjadi pemburu komunisme di Amerika Selatan.
Keduanya mendapat perlindungan dari Amerika Serikat sekaligus pembiayaan. Selama masih dipakai untuk mencapai kepentingan AS, mereka dilindungi. Namun, ketika sudah tidak lagi dibutuhkan, mereka pun dilepas, good bye.
Bagi banyak orang, Soeharto adalah pahlawan. Bagi lainnya, ia penjahat. Bergantung dari sisi mana kita melihatnya. Prof Salim Said (almarhum) dengan tegas membela Soeharto dan menuduh PKI sebagai dalang kudeta 1965.
Cornell Paper bikinan Ben Anderson dan kawan-kawan menganalisis peristiwa itu sebagai puncak persaingan antarjenderal Angkatan Darat dan PKI (Partai Komunis Indonesia) tidak terlibat.
Kalau kita membaca buku karya Vincent Bevins, The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade & The Mass Murder Program that Shaped Our World (2020), akan tergambar bagaimana Amerika Serikat mendesain sebuah perburuan terhadap kaum komunis di seluruh dunia dengan metode yang sistematis dan masif.
Metode yang dipakai seragam di seluruh dunia dan uji coba dilakukan dengan sukses di Jakarta. Karena itu, metode itu disebut sebagai ”The Jakarta Method”.
Dalam metode itu, Angkatan Darat menjadi ujung tombak perburuan terhadap kaum komunis. Gerakan tersebut disokong dengan dana besar dan senjata serta dukungan media massa yang memprovokasi masyarakat untuk ikut memburu kaum komunis.
Bagi kalangan Islam di Indonesia dan kaum nasionalis antikomunis, Soeharto adalah pahlawan. Tanpa Soeharto, sangat mungkin PKI akan berkuasa di Indonesia. Dampak domino akan terjadi di Asia Tenggara yang bakal jatuh ke tangan komunis setelah kejatuhan Indonesia.
Bola sekarang ada di kaki Presiden Prabowo Subianto. Ia harus memutuskan, apakah sang mantan mertua itu pahlawan atau penjahat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: