Reformasi Polri, Antara Kebutuhan dan Sekadar Keinginan
ILUSTRASI Reformasi Polri, Antara Kebutuhan dan Sekadar Keinginan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Hanya dengan membangun kemitraan sejati dengan masyarakat, Polri dapat memulihkan kepercayaan publik dan mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
KULTUR POLRI
Almarhum Presiden Ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah melontarkan anekdot tajam. Hanya ada tiga polisi yang jujur di negeri ini. Yakni, Jenderal Hoegeng Imam Santoso, polisi patung, dan polisi tidur.
Kalimat satire itu bukan sekadar lelucon, melainkan juga kritik mendalam terhadap kondisi institusi kepolisian. Gus Dur ingin menyampaikan pesan bahwa kejujuran di lingkungan Polri merupakan barang mahal karena besarnya kekuasaan tanpa kontrol.
Selama dikotomi antara ”yang berkuasa” dan ”yang dikuasai” masih dipertahankan sebagai tradisi, selama itu pula polisi akan terjebak dalam peran sebagai alat kekuasaan, bukan pelayan masyarakat.
Padahal, secara filosofi, kepolisian adalah public servant alias pelayan publik, bukan state servant yang melayani kepentingan rezim penguasa. Polisi dibentuk untuk mengayomi melindungi rakyat, bukan menjaga marwah kekuasaan.
Sejak diberlakukannya Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 yang memisahkan Polri dari TNI, secara struktural Polri telah menjadi institusi sipil. Namun, secara kultural, Polri masih sulit melepaskan diri dari bayang-bayang komando militeristis.
Itulah akar masalah terbesar dalam tubuh kepolisian, bukan hanya struktur, melainkan juga kultur yang belum berubah. Citra Polri di mata masyarakat masih jauh dari ideal. Di banyak kasus, masyarakat menilai aparat kepolisian masih arogan, tidak transparan, bahkan kerap memperlakukan hukum secara diskriminatif.
Problem itu bukan semata soal perilaku individu, melainkan warisan kultur organisasi yang telah lama mengakar.
Karena itu, reformasi Polri tidak cukup hanya dilakukan lewat perubahan undang-undang, pembentukan komite, atau restrukturisasi organisasi. Yang paling mendesak adalah perubahan kultur dan kepribadian institusional agar Polri benar-benar hadir sebagai penjaga keadilan dan keamanan rakyat.
Polisi ideal di era masyarakat sipil adalah mereka yang responsif, humanis, dan bersahabat. Untuk mencapai hal itu, reformasi harus dimulai dari pembenahan internal yang mendasar, terutama pada tiga aspek: rekrutmen, penegakan etika, dan pengawasan publik.
Reformasi yang berhasil bukan hanya tampak di atas kertas, melainkan dalam perilaku sehari-hari aparat di lapangan. Pemimpin di setiap level harus memberikan teladan moral, bukan sekadar instruksi atau perintah administratif.
Kultur baru juga harus ditopang oleh sistem insentif dan hukuman yang adil. Anggota yang menegakkan nilai harus mendapat penghargaan, sedangkan pelanggaran, sekecil apa pun, harus ditindak tanpa pandang bulu.
Perubahan wajah Polri menuju institusi yang dicintai masyarakat memang tidak dapat dilakukan seketika. Dibutuhkan proses panjang dan konsistensi internal yang kuat. Reformasi sejati tidak hanya berhenti pada penataan struktur dan prosedur, tetapi menyentuh nilai-nilai dasar kejujuran, keadilan, dan pengabdian.
Sejarah membuktikan, Polri yang dekat dengan rakyat akan mendapat dukungan moral luar biasa dari masyarakat. Sebaliknya, Polri yang berjarak dan berorientasi pada kekuasaan justru kehilangan legitimasi sosial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: