Reformasi Polri, Antara Kebutuhan dan Sekadar Keinginan
ILUSTRASI Reformasi Polri, Antara Kebutuhan dan Sekadar Keinginan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Mensesneg: Kapolri Tak Pernah Usulkan Nama untuk Komite Reformasi Polri
Terpenting, polisi hadir di tengah masyarakat sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
REFORMASI POLRI
Selama dua dekade reformasi Polri bergulir, langkah perubahan belum banyak menyentuh akar masalah. Upaya penataan organisasi reformasi struktural tanpa dibarengi perubahan kultur reformasi kultural akan kehilangan makna pada tataran implementasi.
Sebab, reformasi Polri tidak semata untuk memperbaiki citra, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat. Dan, kepercayaan itu hanya tumbuh jika polisi benar-benar hadir sebagai pelindung, bukan penguasa.
Gagasan menempatkan Polri di bawah kementerian atau memindahkan sebagian fungsi seperti lalu lintas ke dinas perhubungan, polairud ke Bakamla, reserse narkoba ke BNN, tipikor ke KPK, dan Densus 88 ke BNPT tidak menyentuh akar persoalan. Itu justru berpotensi menambah beban anggaran negara dan resistansi internal.
Menurut Mahfud MD, pemindahan fungsi Polri ke instansi lain harus melalui pendekatan holistik mengutamakan hukum, kelembagaan, maupun akuntabilitas.
Substansi reformasi seharusnya dimulai dari penguatan struktur di tingkat bawah yang menyentuh kebutuhan masyarakat langsung. Keberadaan polsek perlu diperkuat, bahkan jika perlu dimekarkan menjadi pembantu polsek hingga pelosok desa.
Personel bhabinkamtibmas pun harus diperbanyak agar kehadiran Polri di tengah masyarakat menyentuh rasa nyaman sekaligus akan menjamin keamanan.
Dalam konteks keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), konsep perpolisian masyarakat sebagaimana diatur dalam SK Kapolri Nomor Pol: Skep/737/X/2005 kembali relevan. Model itu menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam menjaga keamanan dan menyelesaikan masalah tanpa selalu bergantung pada jalur hukum formal.
Sejatinya, masyarakat telah lama memiliki tradisi keamanan lokal seperti siskamling atau sistem keamanan swakarsa. Meningkatnya angka kriminalitas di berbagai daerah belakangan ini membutuhkan sinergisitas antara Polri dan masyarakat. Caranya, memperkuat komunikasi kultural antara Polri dan masyarakat melalui peran aktif bhabinkamtibmas.
Hasil survei Setara Institute pada September-Oktober 2025 menunjukkan bahwa 61,1 persen penegakan hukum oleh Polri masih buruk. Penegakan hukum di negeri ini kerap tumpang tindih dengan institusi penegak hukum lain. Juga, timpang dalam prinsip equality before the law.
Masyarakat kecil sering menjadi korban kriminalisasi, sedangkan pihak berkuasa atau pemilik modal lebih terlindungi. Kritik terhadap Polri sebagai ”preman berseragam” muncul karena ketidakadilan itu. Pemeo negatif lapor Polisi kehilangan kambing malah sapi ikut terjual menunjukkan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
Dalam pidato setahun pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto juga menyoroti pentingnya keadilan hukum. Mengingat, masih banyak kasus di daerah yang menjerat masyarakat kecil secara tidak proporsional.
Reformasi Polri seharusnya menjadi jawaban atas ketimpangan itu, bukan sekadar slogan perubahan, Polri untuk masyarakat. Reformasi Polri harus kembali kepada jati dirinya sebagai pelindung rakyat, bukan alat kekuasaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: