Arah Reformasi Tata Kelola Keuangan Haji: Antara Amanah, Profesionalisme, dan Kemaslahatan Umat
ILUSTRASI Arah Reformasi Tata Kelola Keuangan Haji: Antara Amanah, Profesionalisme, dan Kemaslahatan Umat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Haji Warisan
Audit publik yang terbuka, laporan nilai manfaat yang mudah diakses, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan merupakan pilar penting untuk membangun legitimasi moral tersebut.
Dalam hal ini, revisi UU harus mempertegas kewajiban BPKH untuk memublikasikan laporan pengelolaan secara periodik dan mudah diakses publik, bukan sekadar dilaporkan ke DPR.
DARI INDEPENDENSI KE SINERGI
Kemandirian lembaga adalah syarat profesionalisme. Namun, kemandirian yang absolut justru berisiko menutup diri dari sinergi kebijakan. Selama ini koordinasi antara BPKH dan Kementerian Agama kerap diwarnai tarik-menarik kewenangan.
Akibatnya, tata kelola dana (oleh BPKH) dan penyelenggaraan layanan haji (oleh Kemenag) berjalan di dua rel berbeda, tanpa jembatan strategis.
Revisi UU seharusnya tidak mengurangi independensi BPKH, tetapi membangun mekanisme koordinasi yang bersifat check and connect, bukan check and block. Saat ini fungsi Kemenag sudah bergeser ke Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj).
Maka, pembentukan Dewan Sinergi Haji Nasional, misalnya, dapat menjadi opsi kelembagaan baru yang mempertemukan Kemenhaj, BPKH, BPK, dan perwakilan masyarakat untuk merumuskan arah kebijakan haji secara terpadu.
DARI DANA TIDUR KE ASET PRODUKTIF UMAT
Nilai dana haji kini telah menembus Rp180 triliun, sebuah potensi luar biasa bagi penguatan ekonomi syariah nasional. Sayang, lebih dari 70 persen masih ditempatkan di instrumen konvensional seperti sukuk negara dan deposito syariah.
Padahal, dengan tata kelola risiko yang matang, dana itu bisa menjadi modal penggerak sektor riil umat. Dari perumahan jamaah, pertanian halal, hingga wisata religi.
Revisi UU perlu membuka ruang eksplorasi baru dengan prinsip kehati-hatian yang adaptif, bukan restriktif.
Artinya, investasi boleh diarahkan ke sektor produktif selama memenuhi kriteria halal, aman, dan berdampak sosial.
DARI REGULASI KE ETIKA TATA KELOLA
Sebagaimana ditegaskan teori good governance, hukum hanyalah pagar minimal, bukan puncak moralitas birokrasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: