Terjebak Romantisme Sejarah dalam Branding 'City of Heroes': Catatan untuk Hari Pahlawan 2025
ILUSTRASI Terjebak Romantisme Sejarah dalam Branding 'City of Heroes': Catatan untuk Hari Pahlawan 2025.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Momentum Hari Pahlawan: Deni Wicaksono Ajak Kaum Muda Terus Bergerak, Junjung Martabat Bangsa
Bagaimana dengan landmark masa kini, yakni pusat kreatif, ruang terbuka interaktif, galeri seni, atau inovasi lingkungan? Apakah mereka juga diakui sebagai bagian dari ”kepahlawanan” modern?
Pencitraan kota tidak hanya dapat dipahami sebagai sebuah praktik ritual. Namun, juga bertanya ”bagaimana” ia dirayakan.
Antropolog Victor Turner membedakan antara ”ritual” (yang memiliki community belonging atau rasa kebersamaan komunal yang otentik) dan ”ritualisme” (pelaksanaan seremonial) yang kosong seperti ketika perayaan Hari Pahlawan hanya berfokus pada seremoni formal, ia berisiko menjadi ”ritualisme”.
BACA JUGA:Kenapa Kita Harus Memperingati Hari Pahlawan Tiap 10 November?
BACA JUGA:Makna di Balik Logo Hari Pahlawan 2025 dan Kegiatan untuk Merayakannya
Warga mungkin hadir secara fisik di upacara, tetapi tidak hadir secara batin. Branding Kota Pahlawan gagal mentransformasi sejarah menjadi sebuah etos (karakter budaya) yang hidup di masa kini.
KEGAGALAN MENYUSUN NARASI KOTA YANG EVOLUTIF
Ketika identitas kota terjebak pada satu narasi historis, imajinasi kolektif menjadi beku. Warga, khususnya generasi muda, cenderung melihat sejarah sebagai sesuatu yang jauh dan formalistis. Sementara itu, isu-isu kota hari ini –polusi, ketimpangan, krisis iklim, urbanisasi– tidak masuk narasi resmi.
Ironisnya, dalam branding ”City of Heroes”, pahlawan hari ini –seperti pejuang lingkungan, pengusaha sosial, guru inspiratif, atau inovator digital– jarang disebut. Kepahlawanan direduksi menjadi sesuatu yang hanya hidup di masa lalu.
Ingat, Surabaya juga punya potensi besar sebagai kota pelabuhan internasional, kota kreatif berbasis komunitas, bahkan kota teknologi dan startup di Jawa Timur. Namun, potensi itu belum terintegrasi dalam narasi branding utama.
MEMBACA SEJUMLAH KOTA LAIN
Bandung juga dikenal sebagai kota sejarah (Konferensi Asia-Afrika, 1955), tapi kemudian bertransformasi menjadi ”kota kreatif” melalui program smart city, festival budaya, dan dukungan terhadap komunitas.
Pemerintah kota menyadari bahwa sejarah bukan satu-satunya aset naratif. Berlin tak menutupi sejarah kelamnya: Holocaust, Perang Dunia, dan Tembok Berlin. Namun, kota itu berhasil menjadikan luka sebagai fondasi kreativitas dan kebebasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: