Terjebak Romantisme Sejarah dalam Branding 'City of Heroes': Catatan untuk Hari Pahlawan 2025

Terjebak Romantisme Sejarah dalam Branding 'City of Heroes': Catatan untuk Hari Pahlawan 2025

ILUSTRASI Terjebak Romantisme Sejarah dalam Branding 'City of Heroes': Catatan untuk Hari Pahlawan 2025.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kini Berlin dikenal sebagai kota seni, startup, dan keberagaman. Seoul pernah hancur karena Perang Korea, tetapi kini menjadi ikon kota digital dan budaya pop global. Pemerintah Kota Seoul berhasil menggabungkan narasi sejarah dengan visi masa depan.

SAATNYA MENAFSIR ULANG ”CITY OF HEROES”

Identitas ”City of Heroes” tidak harus dibuang, tetapi mendesak untuk dihidupkan kembali. Seperti yang telah dibahas, branding yang hanya berfokus pada monumen dan seremoni formal berisiko menjadi ”simbolisme yang beku” dan ”ritualisme” yang kosong makna. 

Ia gagal terhubung dengan denyut nadi warga kontemporer, terutama mereka yang merasa narasinya tidak terwakili.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah redefinisi radikal: dari ritualisme menjadi etos. Kepahlawanan harus ditafsir ulang bukan sebagai memori yang diarsipkan dan dirayakan setahun sekali, melainkan sebagai karakter (etos) yang dipraktikkan sehari-hari oleh warga kota.

Bagaimana caranya? Dengan secara aktif membaca dan merayakan ”etnografi kepahlawanan baru”. 

Pahlawan masa kini adalah mereka yang berjuang di garda depan krisis iklim (aktivis lingkungan), mereka yang membangun kemandirian ekonomi (penggerak UMKM), mereka yang mencerdaskan kehidupan (inovator pendidikan), dan mereka yang membuka lapangan kerja baru (pengembang teknologi lokal).

Redefinisi tersebut bukan sekadar mengganti tagline. Itu menuntut perubahan kebijakan: landmark baru yang merayakan inovasi, alokasi ruang publik yang inklusif untuk kreator muda, dan penghargaan kota yang setara bagi pahlawan masa kini. 

Branding kota harus mampu merangkul banyak narasi sekaligus: sejarah sebagai fondasi, dan keberagaman, kreativitas, serta solidaritas sosial sebagai pilar masa depan.

Dengan begitu, identitas kota akan menjadi narasi hidup yang terus berkembang. ”City of Heroes” bukan hanya tentang siapa yang gugur di masa lalu, melainkan juga tentang siapa yang berjuang hari ini.

Dekonstruksi itu tidak untuk menghapus sejarah, tetapi untuk membebaskannya dari kebekuan simbolisnya, agar ia bisa kembali mengalir dalam kehidupan kota yang terus bergerak. 

Surabaya bukan hanya kota pahlawan. Ia adalah kota masa depan, asal kita berani menafsir ulang siapa pahlawan itu dan untuk siapa kota tersebut dibangun. (*)

*) Dhahana Adi Pungkas adalah academic and urban cultural interpreter.

*) Achmad Muzakky Cholily aalah antropolog dan aktivis budaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: