Stagnasi Transisi Energi di Indonesia
ILUSTRASI Stagnasi Transisi Energi di Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PADA gelaran COP 30 di Brasil, agenda transisi energi –khususnya pada konteks Indonesia– harus benar-benar menjadi perhatian. Sebab, hampir sepuluh tahun terakhir belum ada kemajuan yang cukup berarti, terutama dalam mempercepat proses transisi energi, baik dalam hal menyiapkan pemensiunan PLTU maupun infrastruktur dari pembangkit listrik dari sumber terbarukan.
Maka, pertanyaan utama dalam agenda transisi energi Indonesia bukan lagi sekadar, apakah kita memiliki target? Melainkan, bagaimana langkah negara dalam mempercepat pencapaiannya? Khususnya di tengah realitas stagnasi, jebakan solusi palsu, dan arsitektur kebijakan yang belum sepenuhnya selaras.
Memang, pemerintah Indonesia telah menyatakan ambisi iklimnya melalui Enhanced NDC dan kini Second NDC, termasuk target puncak emisi 2030 dan Net Zero 2060 atau lebih cepat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan jarak yang signifikan antara komitmen internasional dan implementasi domestik.
BACA JUGA:Terjemahan Transisi Energi Berkeadilan Tanpa FPIC
Tetapi, faktanya, bauran energi terbarukan pada 2023 baru mencapai 13,1 persen. Itu tertinggal jauh dari target 23 persen pada 2025. Kegagalan mencapai target jangka pendek itu memberikan sinyal bahwa percepatan transisi masih sebatas narasi, belum menjadi perubahan struktural.
Kebijakan energi nasional melalui KEN, RUPTL, dan proyeksi investasi sebenarnya mulai mengakui dominasi energi surya, angin, dan penyimpanan energi.
Namun, pendekatan itu berjalan berdampingan dengan masih diperpanjangnya usia pembangkit fosil melalui skema solusi palsu. Misalnya, CCS/CCUS, co-firing biomassa skala besar, bahkan wacana nuklir.
BACA JUGA:Catatan Awal Tahun 2025: Swasembada Energi, Dari Mana Dimulai?
BACA JUGA:Pro-Kontra Konversi Subsidi Energi ke BLT
Semua tawaran tersebut mencerminkan kecenderungan untuk tetap mempertahankan infrastruktur energi fosil sembari menempelkan embel-embel hijau yang sejatinya bukan transisi, melainkan substitusi parsial yang sebenarnya adalah false solutions.
Jika melihat dalam kerangka SNDC, seharusnya Indonesia menggeser paradigma dari ”menambah energi terbarukan” menuju ”menghapus fosil secara terencana dan adil”. Namun, perencanaan energi nasional masih belum sepenuhnya selaras. SNDC menekankan puncak emisi 2030 dan penurunan bertahap setelah itu, tetapi rencana pembangkit captive power untuk industri nikel dan mineral strategis terus berlanjut.
Pada titik itu, terlihat bahwa industrialisasi berbasis energi murah fosil menjadi prioritas ekonomi, sedangkan SNDC dijadikan instrumen diplomasi iklim untuk menjaga akses investasi.
Persoalan lain yang muncul ialah sinkronisasi kebijakan pusat-daerah masih jauh dari harapan sehingga menjadi tantangan yang fundamental. Banyak provinsi telah mencantumkan target energi bersih dalam RUED, sebagian bahkan lebih progresif dari pemerintah pusat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: