Banjir Sumatra Bongkar Rapuhnya Tata Kelola Hutan, PBPH Serampangan Jadi Biang Kerok
Potret longsor di kawasan hutan Kabupaten Agam, Sumatra Barat.--BNPB
Pada saat yang sama, Kemenhut mengakui bahwa banjir yang menewaskan ratusan orang dan menyapu permukiman bukan hanya dipicu cuaca ekstrem. Ada kerusakan daerah tangkapan air (DTA) yang melemahkan perlindungan alami Pegunungan Bukit Barisan di epanjang Pulau Sumatra.
“Bencana banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi terjadi karena kombinasi beberapa faktor yang saling terkait,” kata Raja Juli.
Ia menyebut siklus tropis Senyar, bentuk geomorfologi daerah aliran sungai (DAS), dan kerusakan DTA sebagai tiga unsur utama. Namun dari ketiganya, kerusakan DTA adalah faktor yang paling kuat berhubungan dengan keputusan manusia.
BACA JUGA:Pemerintah Telusuri Asal Kayu Gelondongan Banjir Sumatra, Satgas Gunakan Citra Satelit
BACA JUGA:Viral Video Zita Anjani Bersihkan Rumah Warga Banjir Sumatera Tuai Komentar Pedas Netizen
Kerusakan DTA adalah konsekuensi langsung dari pembukaan lahan. Informasi yang disampaikan Kemenhut memperlihatkan perubahan tutupan hutan menjadi nonhutan di tiga provinsi tersebut berlangsung dalam skala signifikan.
Aceh kehilangan 21.476 hektare tutupan hutan dalam periode 2019–2024. Sumatra Utara kehilangan 9.424 hektare dalam periode yang sama. Sumatra Barat kehilangan 1.821 hektare dari 2018 hingga 2024.
Dalam bentang geografis yang sama, titik-titik banjir merebak: 70 titik di Aceh, 92 titik di Sumatra Utara, dan 56 titik di Sumatra Barat. Pola kerusakan tutupan hutan dan titik bencana pun saling menegaskan hilangnya hutan menjadi variabel penting yang memperparah banjir.
Kemenhut sudah mencabut 18 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada Februari 2025. Kini, akan mencabut 20 PBPH tambahan seluas 750.000 hektare dalam waktu dekat.
Namun, pencabutan yang dilakukan terakhir itu justru memperlihatkan betapa negara terlambat menindak konsesi yang seharusnya diawasi sejak lama.
BACA JUGA:Pemerintah Belum Mau Buka Bantuan Internasional untuk Banjir Sumatra
BACA JUGA:Peduli Bencana Banjir Sumatera, Pupuk Indonesia Grup Kirim Bantuan ke Aceh, Sumut, dan Sumbar
PBPH yang dimaksudkan sebagai sistem pemanfaatan hutan modern justru di banyak kasus menjadi izin legal yang memungkinkan industri masuk ke ruang-ruang ekologis paling sensitif.
Pengawasan yang tidak ketat, laporan mandiri perusahaan, dan ketidakhadiran negara di lapangan membuat PBPH rentan menjadi penyebab kerusakan ketimbang alat pengelolaan.
Ketua Komisi IV DPR, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto) memberikan kritik yang mempertegas persoalan ekologis itu. Menurut dia, banjir Sumatra tidak dapat semata-mata disalahkan pada curah hujan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: