Tanah Air Mata Ibu
Tanah Air Mata Ibu.-Bambang Asrini Widjanarko-
Dampak dari kekhilafan kebijakan Pemerintah mengelola keseimbangan ekologi. Puluhan tahun kebijakan itu melenceng dari ketentuan deforestasi yang adil dan bertanggung jawab.
Akibatnya sangat memprihatinkan. Terutama bagi saudara-saudara kita di Sumatera. Bencana itu telah menghilangkan energi hidup mereka.
Desember ini, media sosial, mayor media-online, juga media-media manca negara bereputasi, membawa semua kisah sedih terkait lenyapnya desa-desa di Aceh, hancurnya infrastruktur di Sumatera Utara, dan air bah menggelegak di Sumatera Barat.
Semuanya membawa sisa jenazah lebih dari 800-an. Serta 500-an lebih korban yang hilang. Yang berarti seribuan populasi tewas. Serta jutaan lainnya mengungsi di tiga provinsi di Sumatera itu.
Sebuah Pameran Motherland dan Air Mata Ibu
Sebagai pelukis, penulis, dan warga biasa, saya kiranya tak punya kuasa untuk berbuat lebih selain kristalisasi problem kebangsaan. Yakni dengan sebuah helatan pameran seni rupa bertajuk Motherland atau Tanah Air, yang menguarkan bahwa "Ibu Negeri sekarang berurai air mata".
Dengan awal itikad bahwa tak ada di dunia kekuatan pengayoman dan perlindungan yang Maha Hebat kecuali kreasi Yang Mahakuasa. Ialah yang mencipta "Rahim Perempuan".
Bahkan dalam agama Islam, setiap do’a pembuka, "Bismillahirrahmanirrahim" selalu menyertakan metafora-metafora Yang Rahman dan Yang Rahim.
Dalam pengertian "rahim" dari asal kata Arab, selain etimologi fisikal menyebut tempat suci janin dibesarkan di perut ibu, juga memunculkan kata "rahima". Artinya: mengasihi, menyayangi, mencintai, menghargai, dan menghormati.
Saat 22 Desember kelak, penulis dan pelukis juga memintal benang merah kolektif. Bahwa helatan seni rupa sederhana itu digelar di sebuah Café-Galeri. Yakni di Darmin Kopi di Jalan Duren Sawit, Jakarta Selatan.
Pameran itu berlangsung selama 22 Desember 2025-16 Januari 2026. Pameran itu berisi berbagai karya drawing.
Setiap karya memiliki narasi. Bahwa sejarah mengusir kolonialisme dalam konteks ibu sebagai ‘Tanah Tumpah Darah’ dikobarkan. Sebagai pernyataan politis sekaligus kultural dalam Soempah Pemoeda 1928.
Pancasila kemudian hadir sebagai sebuah pandangan hidup. Seperti Soekarno yang menyatakan bahwa kelahiran Pancasila disebutnya sebagai philosophische grondslag.
Istilah itu berasal dari bahasa Belanda. Philosophische berarti "bersifat filosofis" dan grondslag berarti "dasar" atau "landasan". Soekarno menggambarkan Pancasila sebagai fundamen filosofis bagi berdirinya negara Indonesia Merdeka.
Seni bagi penulis, menafsirkan semua hal itu dengan cara refleksi-kolektif mendalam tentang sosok garuda.
Menjadi simbol-simbol maknawi. Yakni tentang bagaimana kita mengalami imajinasi estetik. Juga membayangkan tentang garuda dan Indonesia secara optimis di masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: