Tanah Air Mata Ibu
Tanah Air Mata Ibu.-Bambang Asrini Widjanarko-
BULAN Desember dalam konteks kebangsaan menyisakan hari sakral, yakni 22 Desember sebagai sebuah perayaan untuk seorang ibu.
Bukan semata figur ibu secara harfiah, sebagai manusia yang memiliki rahim dan membesarkan anak-anaknya serta bertanggung jawab pada keluarga. Namun, ia memberi spasial makna lebih tinggi secara kolektif. Yaitu ingatan tentang "ibu negeri".
Ibu pertiwi. Tumpah darah sebagai kesatuan nilai-nilai abstraktif. Ilmuwan Ben Anderson puluhan tahun silam dalam tesisnya mengimajinasikan ‘masyarakat bersatu’. Itu tertanam dan mengakar sebagai Imagining Society yang disebut "Tanah Air".
Hari Ibu dalam sejarah adalah menyalakan api Kongres Perempuan I, sebagai pertemuan bersejarah pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Kongres itu menyatukan organisasi perempuan untuk memperjuangkan hak wanita dalam pendidikan, perkawinan, dan perlindungan anak. Hingga menghasilkan pembentukan Federasi Wanita dan menjadi tonggak penetapan Hari Ibu Nasional tiap 22 Desember.
Cita-cita memperjuangkan kemajuan perempuan dan mempererat persatuan antar organisasi perempuan. Mereka menjadi garda depan mengawal ‘Suara Merdeka Perempuan Indonesia’.
Pergerakan mereka sungguh jauh melangkah ke depan. Padahal di bagian dunia lain, Eropa dan Amerika Serikat masih sibuk dengan gerakan feminis awal abad ke-20.
Usai kita lelah menunggu sakralitas Oktober 2025 dengan energi ‘api Sumpah Pemuda’ yang menginspirasi Kongres Perempuan I tahun 1928, segeralah kita berandai-andai.
Bahwa ada hajatan sebuah peristiwa yang memantik nilai ‘Kepahlawan’. Peristiwa yang berlari sejak Oktober 2025. Yang lagi-lagi menyisakan rasa pilu. Tak ada pencerahan berarti di Tanah Air.
Tiba-tiba kita semua dihajar kabar akhir November. Lalu membuka bulan Desember dengan tragedi banjir dan tanah longsor yang maha-dahsyat.
Polemik meruyak. Menjadi tak menentu. Negara kemudian dihujat. Mereka yang membuat kebijakan-kebijakan darurat penanggulangan bencana secara sporadik segera direspons tagar “Warga Bantu Warga” di media sosial.
Tagar itu dimotori sejumlah anak muda Gen Z dan Millenial. Generasi yang berhasil menggalang dana puluhan miliar.
Sampai saat ini, donasi tetap berlangsung oleh mereka yang terpanggil secara naluri. Anak-anak muda itu memiliki satu tekad. Bahwa tak mungkin negara yang sedang gamang dengan berbagai masalah mampu menanggulangi tragedi tersebut.
Tanah longsor dan banjir bandang bukan murni disebabkan oleh natural disaster. Namun, terjadi karena kombinasi dengan fenomena riil man made disaster.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: