30 Penulis Kenang Sosok Pahlawan Literasi dalam Buku A Tribute to Oei Hiem Hwie

30 Penulis Kenang Sosok Pahlawan Literasi dalam Buku A Tribute to Oei Hiem Hwie

Narasumber perilisan dan diskusi buku A Tribute to Oei Hiem Hwie, dari kiri: Rojil Bayu Aji, Arief W. Djati, Nursjahbani Katjasungkana, serta moderator Kezia Sofia, 10 Desember 2025 di Lodji Besar Peneleh, Surabaya.-Boy Slamet-HARIAN DISWAY

"Pak Hwie bilang jika dirinya adalah marga Oei yang 'murtad'. Biasanya, marga Oei jadi pengusaha, pebisnis. Pak Hwie malah bergerak di bidang literasi'," ungkapnya, kemudian tertawa.

Ia juga mengenang ketika Hwie berkisah tentang sastrawan besar Pramoedya. Saat itu, keduanya sama-sama jadi tahanan politik di Pulau Buru.

"Pramoedya menugaskan Hwie untuk mencari informasi tentang Tirto Adhi Soerjo, tokoh pergerakan dan jurnalis era kolonial," ungkapnya. 

BACA JUGA:4 Rekomendasi Buku untuk Membantu Anda Menghadapi Quarter Life Crisis

BACA JUGA:Titimangsa Rilis Buku Antologi Naskah Monolog Di Tepi Sejarah, Hadirkan Happy Salma dan Ahda Imran


Diskusi dan perilisan buku A Tribute to Oei Hiem Hwie: Marga Oei yang 'Murtad' di Lodji Besar Peneleh, Surabaya, 10 Desember 2025.-Boy Slamet-HARIAN DISWAY

Saat itu, Pram menyuruh Hwie untuk menemui guru besar sejarah UI yang juga ditahan di sebuah barak di Pulau Buru. Ketika ditemui, Hwie bertanya tentang siapa sebenarnya Tirto Adhi Soerjo. Menyangkut tempat asal kelahirannya, kiprah, dan lain-lain.

Saat Hwie telah mendapat banyak informasi, ia menceritakannya pada Pram. Namun, Pram memintanya untuk berhenti bercerita ketika Hwie menunjukkan tempat kelahiran Tirto. Yakni di Bojonegoro. 

"Pram rupanya hanya meminta informasi soal tempat lahirnya saja. Di Bojonegoro itu. Kemudian, ia menulis semua kisah tentang Tirto. Isinya sama persis dengan yang disampaikan guru besar itu. Padahal Hwie belum menceritakannya," katanya.

"Mengapa bisa sama persis? Ternyata Pram bercerita pada Pak Hwie. Bahwa pada masa lalu, Pram dan guru besar itu sama-sama membeli buku atau dokumentasi tentang sosok Tirto. Makanya mereka sama-sama tahu. Pram hanya lupa tempat kelahirannya saja," pungkas pegiat komunitas Begandring Soerabaia itu.

BACA JUGA:Bedah Buku Pater Fritz Meko: Kembara Pikiran, Catatan Harian Seorang Imam Katolik

BACA JUGA:Genap 17 Tahun, Elena Hendropurnomo Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Citrus Society

Semasa hidup, Hwie dikenal humble. Tak segan bergaul dan bercerita dengan siapa saja. Termasuk pengunjung perpustakaan. Ia pun kerap menunjukkan referensi buku atau dokumen yang dibutuhkan. Rojil pun mengenang hal itu.

"Dulu, saat berkunjung ke Medayu Agung, saya pasti mendengarkan kisah-kisah Pak Hwie. Sampai saya lupa bahwa tujuan saya ke perpustakaan adalah untuk membaca buku. Itu juga yang banyak dialami pengunjung lainnya," ujarnya, kemudian tertawa.

Namun baginya, Oei kala itu merupakan perpustakaan hidup. Ia dapat menjadi rujukan sumber sejarah alternatif. Kisah-kisah yang dialaminya banyak yang tak tercatat dalam buku-buku pelajaran. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway