30 Penulis Kenang Sosok Pahlawan Literasi dalam Buku A Tribute to Oei Hiem Hwie

30 Penulis Kenang Sosok Pahlawan Literasi dalam Buku A Tribute to Oei Hiem Hwie

Narasumber perilisan dan diskusi buku A Tribute to Oei Hiem Hwie, dari kiri: Rojil Bayu Aji, Arief W. Djati, Nursjahbani Katjasungkana, serta moderator Kezia Sofia, 10 Desember 2025 di Lodji Besar Peneleh, Surabaya.-Boy Slamet-HARIAN DISWAY

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Pada 3 Desember 2025 silam, Oei Hiem Hwie berpulang dalam usia 87 tahun. Ia meninggalkan jejak manis: Perpustakaan Medayu Agung

Warisan abadi yang hingga kini dapat dinikmati oleh para pegiat, penikmat literasi, juga para akademisi. Publik pun mengenal koleksi paling legendaris perpustakaan itu. Yakni naskah asli Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Berkat Hwie naskah itu bisa terselamatkan.

Untuk mengenang kiprah dan dedikasinya, para tokoh penulis dan aktivis di Surabaya menginisiasi sebuah buku tentang Hwie. Judulnya: A Tribute to Oei Hiem Hwie: Marga Oei yang 'Murtad'. 

Heru Krisdianto, salah seorang inisiator yang kemudian menjadi editor buku tersebut, menyebut bahwa ide pembuatan buku itu muncul saat melayat di Adi Jasa, tempat jenazah Hwie disemayamkan.

BACA JUGA:Oei Hiem Hwie, Penyelamat Bumi Manusia Berpulang di Usia 87 Tahun

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Pendiri Perpustakaan Medayu Agung Oei Hiem Hwie: 留取丹心照汗青

"Saat itu, saya berbincang bersama kawan, keluarga, serta kolega mendiang tentang rencana menulis buku. Gayung bersambut. Keluarga Pak Hwie setuju," ujarnya.


Suasana Lodji Besar Peneleh dalam perilisan buku A Tribute to Oei Hiem Hwie: Marga Oei yang 'Murtad', 10 Desember 2025.-Boy Slamet-HARIAN DISWAY

Ide tersebut kemudian didiskusikan bersama aktivis Dandik Katjasungkana dan peneliti sejarah Arief W Djati. Mereka pun mulai menghubungi para penulis untuk menulis esai tentang ketokohan Hwie.

Kemudian terkumpul 30 penulis yang terlibat: Dandik Katjasungkana, Adi Sandika, Aditya Ananta Toer, Alexander Raymon, Ambar Chinta Rukmi, Ani Nur Karimah, Arief W. Djati, Aris Prawira, Chamilah, Diana AV Sasa, Didi Kwartanada, Dukut Imam Widodo, Fatimah Mokoginta, Fernando A.T. Ximenes, Go Tiong Han, Guruh Dimas Nugraha, Henri Nurcahyo, Iman Hartanto, Januar Adi Sagita, Johan Hasan, Juliastono, King Gaudi, Kukuh S. Wibowo, Kuncarsono Prasetyo, Lambertus Hurek, Shinta Devi, Tries Supardi, Valleri Archam Tristany, Vannessa Hearman, dan Wilson Obrigadoz.

Lantas pada 10 Desember 2025, buku itu dirilis di Lodji Besar, Peneleh, Surabaya. Dalam kesempatan itu digelar pula diskusi atau bedah buku yang menghadirkan tiga narasumber: Arief W Djati, Aktivis HAM Nursyahbani Katjasungkana, dan Dosen Sejarah Unesa Rojil Nugroho Bayu Aji.

BACA JUGA:Mahasiswa MBKM Untag Kunjungan ke Perpustakaan Medayu Agung

BACA JUGA:Bazar Buku dan Pameran Riset Ilmiah Semarakkan Dies Natalis ke-27 FIB UNAIR

Judul buku itu diambil dari judul karya tulis Kuncarsono Prasetyo. Begitu menggelitik. Kuncar menyebut bahwa inspirasi itu datang dari hasil wawancaranya dengan mendiang Hwie.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway