Firaun Lu… Gaya Bertutur Purbaya yang ’Menabrak Batas’
Menteri Keuangan Purbaya depan rapat Komisi XI DPR bahas pajak.-ist-
BACA JUGA:Menkeu Purbaya Hidupkan Lagi Wacana Redenominasi Rupiah, Rp1.000 Jadi Rp1 Tanpa Ubah Nilai
Sebaliknya, kritik terhadap gaya bertutur ini juga menguat. Sebagai menteri keuangan, setiap pernyataannya memiliki konsekuensi yang signifikan, mulai dari stabilitas politik hingga persepsi pasar.
Bahasa yang terlalu spontan dapat menghasilkan berbagai interpretasi, terutama ketika digunakan tanpa konteks teknis yang lengkap. Tidak mengherankan bahwa pengamat dan anggota parlemen mengingatkan agar komunikasi fiskal tetap di koridor institusional dan profesional.
Dalam perspektif ilmu sosial, fenomena ini sejalan dengan paradigma bahwa bahasa bukanlah alat netral. Menurut Pierre Bourdieu, bahasa adalah modal simbolis. Bertutur dapat memperkuat atau justru mengurangi legitimasi sosial seseorang.
BACA JUGA:'Purbaya Effect' Belum Terasa, Pengamat Sebut Ekonomi Masih Lesu Sampai Awal Tahun Depan
BACA JUGA:Menkeu Purbaya Bicara Korupsi Pajak dan Bea Cukai: Mereka (Koruptor) Dilindungi
Dalam konteks ini, gaya informal Purbaya dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk mengganti modal simbolis birokratis yang kaku dan jauh dengan modal yang lebih dekat dan berhubungan dengan publik. Pertukaran tidak selalu aman. Meskipun menawarkan keuntungan komunikasi, pertukaran modal simbolis juga dapat menimbulkan risiko kehilangan legitimasi di mata elite dan institusi.
Sangat menarik bahwa Purbaya menyadari adanya ketegangan ini sendiri. Secara terbuka, ia mengakui bahwa gaya bicaranya harus disesuaikan dengan posisinya. Ia menyatakan bahwa sebagai menteri, ia harus lebih berhati-hati dan mematuhi protokol komunikasi resmi karena ia tidak dapat berbicara sebebas sebelumnya.
Pengakuan itu menunjukkan bahwa masalah gaya bertutur erat hubungannya dengan peran sosial yang terkait dengan posisi.
Max Weber di masa lalu sudah memunculkan kesadaran ini dengan mengingatkan bahwa legitimasi rasional-legal adalah dasar jabatan birokratis kontemporer.
Keahlian, prosedur, dan konsistensi, bukannya popularitas, menentukan otoritas seorang Menteri Keuangan. Jika gaya berbicara terlalu menekankan aspek karismatis atau populis, muncul ketegangan antara peran teknokratis dan daya tarik pribadi. Ini adalah ketegangan yang kita lihat saat menanggapi Purbaya.
Terlepas dari pujian dan kritik yang bermunculan, fenomena ini menunjukkan bagaimana komunikasi politik berubah. Di era media sosial, perbedaan antara bahasa resmi dan populer semakin tidak jelas. Sementara institusi menuntut kehati-hatian, masyarakat menginginkan transparansi dan kecepatan.
Gaya bertutur Purbaya berada di antara kedua tuntutan ini. Gaya bertutur Purbaya dapat dianggap sebagai gejala era modern, bukan sekadar anomali.
Bukan soal apakah gaya bertutur seperti ini "benar" atau "salah", tetapi bagaimana ia digunakan. Spontanitas tidak perlu dihapus, tetapi harus ditempatkan dalam konteks. Di satu sisi, kita dapat menggunakan bahasa yang lebih fleksibel, seperti dalam diskusi publik atau pelatihan kebijakan, tetapi di sisi lain, kita harus tetap tepat, seperti dalam pernyataan resmi tentang anggaran dan keuangan.
Pada akhirnya, cara seorang menteri berbicara adalah bagian dari fungsi kekuasaan yang membentuk pemahaman masyarakat tentang negara, kebijakan, dan otoritas. Fenomena gaya bertutur Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan kita bahwa bahasa adalah soal relasi antara negara dan warganya, legitimasi, dan kepercayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: