Gajah di Tengah Bencana Alam
ILUSTRASI Gajah di Tengah Bencana Alam.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SATU per satu pemandangan menyayat hati kita lihat dari bencana banjir di Sumatera. Salah satunya pemandangan gajah yang berdiri di atas tumpukan puing rumah-rumah manusia yang hancur.
Belalai yang dulu menjadi simbol kebijaksanaan dalam kisah-kisah klasik kini terpaksa mengangkat gelondongan kayu yang hanyut, atap yang roboh, dan jejak-jejak kehidupan yang hanyut.
Foto-foto itu ”membekukan” sesuatu yang lebih besar dari bencana, ia menunjukkan bagaimana hewan yang seharusnya hidup di hutan kini menggantikan alat berat, menggantikan infrastruktur yang tak bekerja optimal, sekaligus menggantikan negara yang datang terlambat.
BACA JUGA:9 Fungsi dan Peran Gajah untuk Kehidupan
BACA JUGA:Penunggang Gajah, Agama, dan Politik
Yang kita lihat adalah bukti paling telanjang bahwa alam sedang diminta menolong manusia dari kerusakan yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Jauh sebelum hadir di layar televisi, gajah sudah hidup dalam khazanah visual Nusantara sebagai penjaga keseimbangan. Melalui kisah Jataka di Borobudur, gajah muncul sebagai makhluk berbudi yang menuntun manusia menuju kebaikan dan kemurahan hati.
Dalam ikonografi Ganesha di Singhasari dan Penataran maupun relief Karmawibhangga di Borobudur, gajah adalah lambang pengetahuan dan kebijaksanaan. Seni-seni klasik itu memotret cara masyarakat lama memahami dan menghargai alam.
BACA JUGA:Gajah Mati, KBS Telat Lapor
Gajah kala itu adalah penjaga ritme kosmos.
Gambaran tersebut hancur ketika kolonialisme mulai mereproduksi lanskap Sumatera. Ketika perkebunan tembakau dan industri kayu berkembang, tubuh gajah ”diseret” masuk ke logika produksi.
Itu seperti tampak dalam fotogravur C.J. Kleingrothe sekitar 1910, Woodcutters and Logging Elephants, Lau Boentoe. Dalam adegan itu, gajah-gajah tampak menarik gelondongan kayu ke jalur rel, menggerakkan industri yang membuka hutan secara agresif.
Foto tersebut menampilkan hierarki baru, bahwa manusia sebagai operator, gajah sebagai mesin, hutan sebagai komoditas. Visual kolonial seperti itulah yang kemudian menandai pergeseran besar, alam tidak lagi menjadi bagian dari dunia moral, tetapi inventaris kapital.
Sejak lama, Sumatera memikul luka ekologis yang terus menganga. Banjir yang datang bukan soal air yang tumpah dari langit saja, melainkan akumulasi sejarah panjang pembabatan hutan, alih guna lahan yang tak terkendali, dan rusaknya daerah resapan air.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: