Guru Cabul di Tangerang, Cegahlah dengan DOA

Kamis 21-07-2022,06:00 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Yusuf Ridho

Guru agama AR, 28, di Tangerang diduga mencabuli tiga siswinya yang berusia 13 – 14 tahun. ”Pelaku sudah tersangka, ditahan,” kata Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan kepada pers, Selasa, 19 Juli 2022.

DIPERTEGAS Kadisdik Kabupaten Tangerang Syaifullah kepada pers, Rabu, 20 Juli 2022. Ia menyatakan, Disdik Tangerang mengecam keras tindakan guru yang sangat memalukan itu.

Syaifullah: ”Kami, Disdik Tangerang, memproses pemberhentian yang bersangkutan sebagai guru honorer di Kabupaten Tangerang.”

Sementara itu, kepala SMP tempat AR mengajar, yakni Nuraenun, kepada pers, Rabu (20/7), menceritakan proses terungkapnya kasus tersebut. Demikian:

Sabtu, 16 Juli 2022, Nuraenun menerima telepon dari guru bahasa Inggris di sekolah tersebut, melaporkan ada orang tua murid yang melaporkan, bahwa anak mereka dicabuli guru di sekolah tersebut. Nama guru belum disebut.

Nuraenun: ”Saya kaget. Lalu, saya menduga-duga, siapa ini? Karena nggak ada yang saya curigai.”

Ternyata, para orang tua murid yang melapor dan guru bahasa Inggris sudah berada di sekolah. Maka, Nuraenun segera menuju ke sekolah meski saat itu Sabtu, hari libur.

Di sana diungkap semua pelecehan seks oleh guru agama inisial AR.

AR jadi guru sejak 2018. Awalnya guru ekstrakurikuler (ekskul) Pramuka dan Paskibraka. Lalu, sejak 2019 diangkat jadi guru agama Islam, tapi tetap mengajar ekskul. Ia guru honorer.

Setelah jadi guru agama itulah, AR mencabuli tiga siswinya, peserta ekskul.

Tidak dijelaskan bentuk percabulannya, juga waktu percabulan. Tapi, berdasar laporan para siswi kepada ortu mereka, yang kemudian dilaporkan ortu ke guru, AR mencabuli secara bergilir, satu per satu, tiga siswi itu.

AR mengancam para korban, jangan pernah melapor ke ortu. Sebab, siswi bakal dikeluarkan dari sekolah jika melapor.

Nuraenun: ”Akhirnya disepakati oleh semua, untuk melaporkan pelaku ke Polres Tangsel. Pihak sekolah memfasilitasi dan mendampingi. Guru bahasa Inggris yang mendapat laporan, bersama saya, mendampingi orang tua korban melapor ke polisi.”

AR dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

Di waktu hampir bersamaan, di Depok (pinggiran Jakarta juga) tiga guru di Pondok Pesantren Riyadhul Jannah, Depok, juga dipolisikan dengan tuduhan percabulan. Tiga guru dan satu santri senior diduga memerkosa 11 santriwati di ponpes tersebut.

Pimpinan ponpes tersebut, Ahmad Riyadh Muchtar, diperiksa polisi, Rabu, 20 Juli 2022. Kuasa hukum Ahmad Riyadh Muchtar, Khoerul, kepada pers, mengatakan:

”Jadi, hari ini pemeriksaan pimpinan ponpes berjalan dengan baik. Klien kami diperiksa sejak pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Total, ada 18 pertanyaan.”

Di kasus ini, tiga guru dan satu santri senior di ponpes tersebut diduga memerkosa 11 santriwati.

Tim dari Polda Metro Jaya sudah memeriksa, menggeledah, lokasi ponpes tersebut pada Jumat, 8 Juli 2022. Pemeriksaan berlangsung tujuh jam.

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Jerry Siagian kepada wartawan, Jumat (8/7), mengatakan:

”Iya benar. Kita melakukan penggeledahan, pengambilan alat bukti sesuai dengan petunjuk gelar perkara dan hasil koordinasi dengan jaksa penuntut umum.”

Hasilnya, sebuah kasur diangkut dari sana, dibawa polisi, sebagai barang bukti alas pemerkosaan terhadap santriwati.

Kasus beginian sangat sering terjadi. Cuma, belakangan ini bagai meledak. Sejak kasus pemerkosaan Herry Wirawan terhadap sembilan santriwati terungkap, terungkap hal serupa di mana-mana.

Mengapa bisa begitu?

Dikutip dari Criminal Justice Know How edisi April 2020 karya kriminolog Kelly M. Glenn, bertajuk Crime Prevention Triangle, disebutkan, kejahatan apa pun tidak bakal terjadi tanpa DOA.

DOA singkatan dari desire, opportunity, dan ability. ”Tanpa DOA, kejahatan tidak mungkin terjadi,” tulisnya.

DOA, dalam kriminologi, dikenal juga sebagai triangle theory. Itu teori pencegahan kejahatan yang kini banyak digunakan penyidik perkara pidana di seluruh dunia, termasuk Polri.

Dijelaskan Kelly M. Glenn dalam teori tersebut, kejahatan terjadi karena ada tiga unsur ini:

Desire (gairah atau keinginan). Calon pelaku kejahatan pasti punya keinginan. Dan, keinginan itu terus dipendam. Tapi, tidak bisa diwujudkan secara normal alias tanpa melanggar hukum.

Opportunity (kesempatan). Keinginan calon pelaku kejahatan itu hanya akan tinggal keinginan jika tidak ada kesempatan untuk mewujudkannya, secara melanggar hukum.

Ability (kemampuan). Setelah ada keinginan dan kesempatan, calon pelaku kejahatan akan mengukur, apakah ia mampu melakukan kejahatan tersebut. Diperhutungkan juga untuk menutupi kejahatan yang bakal ia lakukan.

”Jika tiga unsur itu ada, sangat mungkin tindak kejahatan terjadi,” tulis Glenn.

Ia mencontohkan, begini:

Tiana menyukai warna merah. Dan, selalu bermimpi mengendarai mobil sangat mewah Ferrari. Terutama, Ferrari merah. Tapi, dia hanya pegawai supermarket di Amerika Serikat yang tidak mungkin membeli Ferrari dari hasil gaji.

Tiana sehari-hari bekerja naik sedan Ford putih produksi 1997. Itu pun hasil warisan dari nenek yang belum lama meninggal dunia.

Suatu hari, saat mengisi bensin di SPBU, Tiana melihat Ferrari merah parkir di dekat SPBU. Mata Tiana berbinar melihat itu. Mimpi mobil Ferrari merah seperti terpampang di depan mata.

Kebetulan, Ferrari merah itu diparkir tanpa ada orang di sekitarnya. Tiana sudah mengamati sekitar, sepi. Mobil itu juga kosong, tak ada orang di dalamnya.

Setelah mengisi bensin, Tiana melajukan mobil mendekati Ferrari itu. Makin dekat Ferrari, jantung Tiana makin cepat berdegup.

Cukup lama dia berhenti di dekat mobil itu. Mengamati dengan teliti.

Kemudian, mobilnya melaju meninggalkan Ferrari merah. Mengapa?

Kelly M. Glenn: ”Karena Tiana sudah mengkalkulasi. Bahwa dia ragu bisa mengemudikan Ferrari. Bentuk persneling beda dengan mobil milik Tiana.”

Di contoh tersebut, sudah ada ”desire” dan ”opportunity”. Namun, tindak kejahatan tidak terjadi tanpa ”ability”.

Di sekolah, apalagi ponpes, dalam perspektif guru pria, sudah ada ”opportunity”. Sebab, guru ditakuti siswi atau santriwati. Tanpa guru mengancam pun, siswi sudah hormat dan takut terhadap guru. Apalagi, seumpama guru mengancam siswi.

Maka, tinggal dua unsur lagi, menuju pelecehan seksual atau pemerkosaan.

Trangle theory semestinya diajarkan kepada masyarakat. Khususnya, pengelola sekolah atau ponpes. Lebih khusus, penyidik perkara pidana atau polisi. Supaya pemerkosaan tidak terjadi. (*)

Kategori :