Takeyama Kenichi, Konjen Jepang di Surabaya yang Hobi Naik Gunung (1)

Senin 01-08-2022,08:28 WIB
Reporter : Mohamad Nur Khotib
Editor : Doan Widhiandono

Mendaki gunung kerap bikin ketagihan. Begitu yang dialami oleh Konsul Jenderal Jepang di Surabaya Takeyama Kenichi. Ia jatuh hati dengan panorama yang disajikan oleh gunung-gunung di Indonesia. 

ADA mug tergeletak di meja. Kosong. Bahannya dari stainless steel. Cangkir mungil seperti itu kerap dijumpai di hutan. Biasanya, dipakai oleh para pendaki gunung atau sekadar camping keluarga.

“Ya, ini salah satu peralatannya,” ujar Takeyama Kenichi lantas tertawa. Ia menyahut mug itu lalu meletakkan di meja yang lain. Harian Disway berkesempatan menemuinya di Konsulat Jenderal Jepang, Jalan Sumatera, Jumat, 29 Juli 2022.

Takeyama punya pembawaan yang ceria sekali. Menyambut kami dengan wajah yang semringah. Hampir di tiap sela bicara selalu tertawa. Fresh. Dan suka guyon.

“Kalau ditanya, jawab saja usia saya sama dengan Tom Cruise,” celetuknya saat ditanya usianya. Jawaban itu membuat kami semua yang duduk di sofa kantornya tertawa. Pun seorang perempuan yang duduk di sebelahnya ikut tertawa. Namanyi Tsumura Moe. Vice-Consul Information, Education, and Culture.


PENDAKIAN PERTAMA Takeyama Ken-ichi di Gunung Ijen pada 2017.-TAKEYAMA KENICHI UNTUK HARIAN DISWAY-

Takeyama lulus sebagai sarjana hukum di Universitas Chuo Jepang pada 1984. Apabila saat itu usianya 22 tahun, maka saat ini mungkin nyaris 60 tahun. 

Tapi justru fisiknya tak memperlihatkan ia sudah berumur. Badannya tegap. Kerutan di wajahnya pun hampir tak ada. 

Jalan hidup Takeyama seperti tidak bisa lepas dari Indonesia. Itulah kenapa ia lancar sekali berbahasa. Kali pertama menginjakkan kaki di Jakarta pada 1986. Saat itu ia dikirim oleh Kementerian Luar Negeri Jepang untuk menjadi sekretaris Duta Besar Jepang di Indonesia. 

Takeyama belajar dasar-dasar Bahasa di Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) Universitas Indonesia. Hanya satu tahun. Kemudian lanjut ke Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta hingga 1988.

“Dua tahun itu awal saya di Indonesia,” katanya. Lalu ia kembali terbang ke Tokyo untuk bertugas di Kemenlu Jepang. Tiga tahun di bagian desk Singapura dan dua tahun desk Indonesia.

Takeyama kembali lagi dikirim ke Kedubes Jepang di Jakarta pada 1995. Dia pun mengalami sendiri krisis saat reformasi. Ia pun turut menjadi saksi ketegangan sosial menjelang turun takhta Presiden Soeharto pada 1998.

Seminggu sebelum Soeharto lengser, Takeyama sibuk mengevakuasi warga Jepang yang tinggal di Indonesia. Ia mengurusi sekitar 8 ribu warga untuk diterbangkan pulang ke Negeri Matahari Terbit tersebut.

“Kami juga takut dijarah,” kenangnya. Saat itu memang ada sentimen terhadap Tionghoa. Sementara warga Jepang mirip dengan orang-orang Tionghoa. 

Ada sekitar 60 bus yang disewa. Untuk memberangkatkan warga Jepang dari satu titik ke Bandara Soekarno-Hatta. Di setiap bus dipasangi bendera Jepang. Itu untuk menghindari kesalahpahaman.

Takeyama berpindah-pindah tugas sejak 2000. Mulai kantor Konsuler Jepang di Makassar, Jakarta, hingga ke Madagaskar. Baru pada 2012 ia kembali bertugas ke Jakarta. Untuk mengurus bidang informasi, kebudayaan, dan pendidikan di Kedutaan Besar Jepang.

Kategori :