SURABAYA, HARIAN DISWAY - Indonesia darurat dokter spesialis. Itu fakta yang menyedihkan. Bahkan Jawa Timur pun kekurangan dokter spesialis. Pantas saja bila banyak orang Indonesia berobat ke luar negeri. Menghabiskan Rp 100 triliun per tahun.
Menurut WHO, Indonesia berada di peringkat ketujuh dalam pemenuhan dokter spesialis. Idealnya 1 dokter spesialis melayani 1000 penduduk. Namun, angka yang dicapai hanya 0,46/1000 penduduk.
Angka itu jauh dibandingkan dengan Thailand dan Filipina. Apalagi dengan Malaysia dan Singapura. Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah dokter spesialis di Indonesia mencapai 41.891 orang. Namun, persebarannya tidak merata. Hanya menumpuk di Pulau Jawa. Paling banyak di tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
BACA JUGA:Menkes Curhat Kekurangan Dokter Spesialis
Menurut data PPDS Kemenkes, dari 303 unit rumah sakit di Jawa Timur, total ada 8.639 dokter spesialis. Dan ternyata masih membutuhkan 577 dokter spesialis. Tentu kondisi itu begitu timpang jika dibandingkan dengan wilayah lain.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya Brahmana Askandar mengatakan, sekitar 57,63 persen dokter spesialis berada di Pulau Jawa. Ia pun mencontohkan ketidakmerataan beberapa jenis dokter spesialis.
Misalnya, spesialis kandungan. Di Jakarta terdapat 904 dokter; 508 dokter di Jawa Barat, dan 415 dokter di Surabaya. Sementara di NTT hanya 5 dokter, Maluku Utara hanya 11 dokter, dan Gorontalo hanya 13 dokter.
“Belum lagi kalau bicara soal dokter subspesialis,” sambungnya. Misalnya, subspesialis kanker kandungan yang paling banyak ada di Jakarta mencapai 28 dokter. Ada 16 dokter di Jawa Timur, dan 11 dokter di Sumatera Utara. Namun, terdapat 10 provinsi lain yang tak punya.
Selain itu, krisis dokter spesialis itu disebabkan juga oleh minimnya jumlah fakultas kedokteran. Dari 86 perguruan tinggi negeri, hanya 39 kampus yang punya fakultas kedokteran.
Daya tampungnya cuma 2.324 mahasiswa per tahun. Itu pun didominasi oleh dokter umum. Tercatat sebanyak 152.000 dokter umum dan 48.000 dokter spesialis di Indonesia. Apabila kesenjangan ini tak teratasi, maka bukan tidak mungkin bakal terisi oleh dokter-dokter spesialis asing.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun telah menyiapkan tiga strategi untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di Indonesia. Khususnya dokter spesialis kardiovaskular. Mengingat penyakit jantung masih menjadi penyebab kematian tertinggi.
Yakni dengan terus menambah program studi (prodi) di fakultas kedokteran. Sebab, prodi yang tersedia saat ini masih jauh dari harapan. Dari 92 fakultas kedokteran, hanya ada 20 yang punya prodi pelayanan jantung. Kemenkes pun bekerja sama dengan Kemendikbudristek.
“Ada hitung-hitungannya, dari 188 spesialis yang praktik hanya 42 orang. Tentu tidak cukup untuk melayani 270 juta masyarakat Indonesia,” tegas Budi dalam keterangan resminya. Selain itu, ia juga akan bekerja sama dengan organisasi profesi. Yakni dengan membuka fellowship seluas-luasnya untuk memberi pelatihan pemasang ring jantung.
Ia berharap agar seluruh rumah sakit membuka program fellowship. Sebab, kebutuhan itu tentu akan terpenuhi puluhan tahun lagi. Kemenkes pun berkomitmen untuk menambah kuota beasiswa dokter spesialis di dalam maupun luar negeri.
Sebelumnya, beasiswa hanya tersedia 200-300 kuota per tahun. Namun, tahun depan bakal ditambah menjadi 1.500 kuota per tahun. Strategi berikutnya dengan membuka pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital based).