Series Jejak Naga Utara Jawa (6): Harta Karun dari John Lie

Jumat 27-01-2023,15:45 WIB
Reporter : Tim Harian Disway*
Editor : Doan Widhiandono

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa seolah-olah menjadi pemenuhan janji Azmi Abubakar. Ia akan mengumpulkan apa pun sebagai bahan informasi bagi masyarakat luar. Bahwa warga Tionghoa pun punya jejak dalam rekam sejarah perjalanan Indonesia.

***

ISI museum yang terletak di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, itu memang komplet. Sepertinya, apa saja ada. Mulai foto, kartu nama, karya buku, hingga surat menyurat. ’’Saya ini pengepul,’’ katanya lantas tergelak.

Ide mengumpulkan berbagai informasi tentang warga Tionghoa itu memang sudah menyeruak sejak lama. Runtutannya panjang. Saat ia menyaksikan warga Tionghoa jadi korban kerusuhan Mei 1998. Saat ia menyaksikan warga Tionghoa ikut terdampak—juga ikut membantu korban—tsunami Aceh 2004. ’’Saat itu sudah terpikirkan satu pusat informasi,’’ ucapnya.

Untuk itu, Azmi harus punya akses pada dokumen-dokumen lawas yang diinginkannya. ’’Caranya bikin toko buku,’’ ucap pria asal Aceh tersebut.

Tentu, perjuangannya tidak mudah. ’’Toko buku bekas itu kan banyak barang masuk, tapi sedikit yang keluar,’’ tutur Azmi. Banyak kulakan, tetapi sedikit yang laku. Kondisi itu membuat banyak pemilik toko buku menjadi drop. Ogah melanjutkan bisnis yang tak menguntungkan.


AZMI ABUBAKAR di dalam Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Serpong, Tangerang Selatan, 14 Januari 2023. -FOTO: YULIAN IBRA-HARIAN DISWAY-

Tetapi, Azmi tak surut. Ia terus mengembangkan tokonya. Bahkan sampai punya 15 cabang. Sebelas di antaranya ada di Jakarta dan sekitarnya. Pria kelahiran 3 Maret 1072 itu juga aktif di grup-grup daring para pengusaha buku bekas. Koleksinya pun makin menumpuk. Menjadi museum.

Dari koleksinya, Azmi akhirnya juga banyak belajar. Bahwa orang Tionghoa juga punya sisi patriotis dalam melawan penjajah. Misalnya dalam media Sunday Weekly atau Sin Po. Di situ sering tertulis artikel yang mengobarkan semangat perjuangan warga Tionghoa.

Mereka juga menjalin hubungan yang baik dengan etnis lain. Azmi lalu menunjukkan salah satu koleksinya. Yakni, majalah Mata Hari, terbitan Semarang, pada 1 Agustus 1934. Di situ ada tulisan dari Abdurrahman Baswedan alias A.R. Baswedan. Keturunan Arab. Yang akhirnya menjadi pahlawan nasional pada 8 November 2018.

Tulisan itu berjudul Peranakan Arab dan Totoknya. Komplet dengan foto A.R. Baswedan mengenakan beskap, jarik, dan blangkon. Di tulisan itu, kakek Anies Baswedan dan Novel Baswedan tersebut mengajak permuda-pemuda keturunan Arab untuk bersatu menjunjung tanah air Indonesia. Lalu bersama-sama melawan penjajah.

BACA JUGA: Melawan dengan Informasi

Azmi juga mengoleksi biografi pertama Bung Karno. Judulnya, Soekarno sebagai Manusia. Penulisnya adalah Im Yang Tjoe. Terbit pada 1930. Buku itu tipis. Hanya 48 halaman. Ditulis dengan gaya berkisah seperti novel. Bagi Azmi, itu juga bukti bahwa warga Tionghoa pun ingin mengabadikan kisah-kisah patriotis yang ada di Hindia Belanda.

’’Banyak koleksi saya yang datang sendiri,’’ kata Azmi. Ia lalu bercerita tentang salah satu koleksinya yang cukup istimewa. Koleksi tentang John Lie, purnawirawan laksamana muda TNI-AL yang diangkat sebagai pahlawan nasional pada 9 November 2009.

Suatu hari, cerita Azmi, ada seorang kawannya yang datang membawa berkarung-karung berkas. ’’Dia orang Jawa. Tukang sapu,’’ tuturnya.

Ternyata, yang dibawa bukan berkas biasa. Itu adalah harta karun. Ya, di karung itu ada berbagai arsip tentang kehidupan John Lie alias Jahja Daniel Dharma. Nama tionghoanya, Lie Tjeng Tjoan. Lahir pada 21 Maret 1911 dan wafat pada 27 Agustus 1988.

Kategori :