Series Jejak Naga Utara Jawa (12) : Kelenteng Tua Benteng Budaya

Sabtu 04-02-2023,00:30 WIB
Reporter : Tim Harian Disway *)
Editor : Doan Widhiandono

Pecinan dan kelenteng memang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Keduanya menyatu membentuk karakteristik kehidupan warga Tionghoa. Di situ mereka hidup, berusaha, sekaligus beribadah kepada Yang Maha Pencipta.

 

BEBERAPA jurus sebelum perjumpaan dengan dua turis dari Jerman itu, Ng Andre mengajak kami mengunjungi Wihara Dharma Jaya Toasebio di Jalan Kemenangan III, Glodok, Jakarta Barat.

 

Hari itu, Minggu, 15 Januari 2023, tempat ibadah tersebut sedang ramai. Meja panjang ditata di halaman depan kelenteng. Aneka rupa makanan terhampar di situ. ’’Sedang ada Pasar Malam. Menjelang Imlek,’’ ucap Andre.

 

Saat kami tiba di kelenteng itu, matahari sudah nyaris tergelincir ke barat. Lampu-lampu sudah mulai menyala. Jalanan sempit yang terletak berimpitan dengan kawasan perniagaan itu mulai tersenyum merekah. Lampion merah bergerak halus dibelai angin yang malas.

 

’’Ini tua banget lho, kelentengnya,’’ kata Andre.

 

Ia tidak sedang menyebar pepesan kosong. Sejarah panjang kelenteng itu terpampang dalam prasasti dari batu hitam dengan tulisan keemasan di dalam areal kelenteng. Di situ tertulis bahwa kelenteng Toasebio—dulu bernama Hong San Miao—sudah berdiri jauh sebelum peristiwa Geger Pecinan pada 1740.

 

Beberapa catatan menyebut bahwa Toasebio sudah mulai berdiri pada abad ke-17. Tepatnya pada 1660. Artinya, tahun ini kelenteng itu sudah berusia 363 tahun. Sudah dalam perjalanan menuju empat abad. Wow…

 

Tak pelak, Toasebio pun disebut-sebut sebagai kelenteng tertua di Jakarta.

 

Di dalam prasasti yang diresmikan pada 18 Juni 2022 itu, Toasebio disebut mengalami pembangunan kembali pada 1751. Artinya, sebelumnya sempat rusak. Atau mungkin roboh.

 

’’Itu cuma 11 tahun dari peristiwa Geger Pecinan,’’ ucap Andre.

 

BACA JUGA: Glodok Bawa Wajah Kebinekaan

 

Memang, Toasebio adalah saksi bisu represi yang dilakukan oleh VOC kepada warga Tionghoa. Saat puluhan ribu orang Tionghoa dibantai oleh kompeni. Yang masih hidup lantas lari ke timur. Beberapa tetap membangun perlawanan terhadap VOC. Dengan bersekutu bersama warga Jawa dan kaum santri. Seperti yang terjadi di Lasem, Jawa Tengah, misalnya.

 

Setelah peristiwa Geger Pecinan itu, VOC memang memberangus semua simbol-simbol budaya Tionghoa. Jangan sampai warga Tionghoa kembali bersekutu yang akhirnya malah menyusahkan para penjajah.

 

Warga Tionghoa pun dipaksa tinggal di sebuah kawasan tertentu: kawasan pecinan. Di Batavia, warga Tionghoa harus berdiam di kawasan Glodok yang terletak persis di sisi selatan Kota Tua (Oud Batavia).

 

Mereka diawasi oleh pejabat yang diangkat oleh pemerintah Belanda: mayor, kapten, atau letnan Tionghoa.

 

Kelenteng Toasebio termasuk yang dihancurkan. Meski sebelas tahun kemudian, tempat ibadah itu kembali berdiri.

 

Berdasar prasasti, pada 1751 dibangun hiolo atau kotak menancapkan dupa persembahyangan di depan altar Kongco Cheng Goan Cheng Kun. ( 清源真君 atau Qing Yuan Zhengjun). Ini adalah dewa pelindung untuk kota yang dikelilingi kawasan perairan. Pas dengan Batavia yang berbatasan dengan laut.

 

Artinya, sejak dulu warga Tionghoa pun sudah punya perspektif tata kehidupan modern dalam bingkai sebuah kota.

 

Jejak sejarah dalam prasasti itu terus menjulur hingga 1983 tatkala sembilan orang membentuk Yayasan Wihara Dharma Jaya Toasebio.

 

Dengan masa hidup yang begitu lama, tak bisa dimungkiri bahwa Toasebio adalah salah satu penggawa kebudayaan dan religi warga Tionghoa. Jejak kekukuhan tempat ibadah yang menempati lahan sekitar 1.300 meter persegi tersebut masih terasa.

 

Ukiran-ukiran tua menempel di dinding dan langit-langit. Berpadu dengan harum hio (dupa) yang terus menerus mengeluarkan asap tipis. Sebanyak 18 altarnya juga masih aktif dipakai bersembahyang.

 


Umat bersembahyang di salah satu altar di Kelenteng Toasebio, Glodok, Jakarta Barat.-Yulian Ibra-Harian Disway-

 

Ornamen asli yang tidak ikut terbakar pada 1740 juga masih bersemangat merentang zaman. Termasuk empat tiang penyangga bangunan yang terasa begitu liat.

 

Sesekali, di antara umat yang berdoa, ada satu-dua turis lokal yang melintas. Beberapa berkerudung. Kentara sekali bahwa mereka muslimah. Pemeluk Islam.

 

Tetapi, tak ada gesekan di antara mereka. Ini membuktikan hipotesis Ng Andre bahwa sejatinya Jakarta menyimpan toleransi yang begitu dalam di akar rumput. Riil.

 

Sore itu, kami menyaksikan orang-orang yang mengabadikan Toasebio dalam caranya masing-masing. Umat kelenteng terus menerus bersembahyang di altar tempat ibadah, membuat Toasebio terus lestari sebagai tempat mendekatkan diri kepada Yang Mahaesa.

 

Sedangkan turis domestik yang berasal dari suku dan agama berbeda mengabadikan Toasebio lewat jepretan kamera. Bahwa di Jakarta masih tersimpan mutiara budaya yang begitu elok… (Doan Widhiandono)

 

*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada.

 

SERI BERIKUTNYA: Turis Jerman Terpikat Buddha Empat Muka

Kategori :