Rasanya, tidak semua umat Paroki Santa Maria de Fatima (Toasebio) aktif mengikuti misa berbahasa mandarin. Sebab, Minggu sore, 15 Januari 2023, itu, hanya beberapa baris kursi yang terisi.
HANYA sekitar 30 orang yang mengikuti misa hari itu. Sebagian besar adalah oma-opa berusia lanjut. Mata mereka tak lepas dari teks. Dalam diam penuh ketekunan, mereka menyimak setiap kata-kata Romo Kanisius Rudy CDD yang memimpin misa. Namun, mereka berubah bersemangat ketika tiba saatnya menyanyi. Masih dengan mata terpaku pada lirik lagu, mereka melantunkan nyanyian keras-keras. Di barisan tengah, ada keluarga muda. Ayah-ibu dan seorang bayi 14 bulan. Ada juga ayah-ibu dengan anak yang sudah SMP. Namun, jumlah mereka minoritas dibandingkan para jemaat sepuh. Misa sudah berjalan setengah jam. Ketika tiba-tiba seorang oma datang menyeret troli lipat berisi belanjaan. Troli itu dia ’’parkir’’ di belakang bangku. Lalu menuju ke deretan bangku tengah. Wang Shi Da, petugas misa, dengan sabar menyerahkan teks dan buku lagu kepada sang oma. BACA JUGA: Misa Hening dengan Segelintir Umat Tak sampai sejam, misa tuntas. Tanpa buru-buru, para jemaat keluar dari bangunan gereja yang bergaya Tionghoa itu. Tapi mereka tak langsung pulang. Ngobrol dulu. Sebagian besar saling bercakap menggunakan bahasa mandarin. Kami pun ingin mengajak ngobrol salah seorang di antara mereka. ’’ Ndak bisa. Ndak bisa Indonesia,’’ ucap seorang oma seraya membuat isyarat ’’tidak’’ dengan tangan. ’’Rumah jauh. Naik bajaj. Setengah jam. Eh, ndak , ndak gitu jauh,’’ jelas sang oma terbata-bata, ketika ditanya alasan dia mengikuti misa berbahasa mandarin. Sekelompok oma yang sedang ngobrol mengaku memang hobi mengikuti misa berbahasa mandarin. Demi mengobati kerinduan mereka pada bahasa ibu. Meski lahir dan besar di Indonesia, keluarga mereka masih berbahasa mandarin. ’’ Seneng aja denger -nya. Toh , enggak tiap Minggu ke sini. Misa mandarin ini kan hanya dua pekan sekali,’’ kata Esther Muljadi, salah seorang jemaat. Vina Rosita punya alasan berbeda. Perempuan 40 tahun itu datang dengan sang putri, Ignasia Bella, jauh-jauh dari Bumi Serpong Damai. Sekitar sejam naik mobil. ’’Anak saya sekolah di SMP Pahoa. Nah, itu sekolah full berbahasa mandarin. Jadi kami ke sini untuk membiasakan dia listening bahasa mandarinnya,’’ tutur Vina. Dalam enam bulan terakhir, sudah beberapa kali Vina mengajak Bella ke Gereja Santa Maria de Fatima. ’’Seru-seru aja, sih . Meski agak bingung, sebenernya romo ini ngomongin apa. Apalagi lirik lagunya enggak ada pinyin -nya,’’ papar dia, lantas tertawa. ’’ Kepingin nyobain lagi ke sini bulan depan. Biar mandarinnya makin jago,’’ timpal Bella. Wang Shi Da, seorang dari 15 pengurus misa mandarin di gereja Santa Maria de Fatima, mengakui bahwa jemaat gereja ini mayoritas warga senior. Jumlahnya sekitar 70-an. ’’Yang paling tua, ada yang di atas 85 tahun,’’ jelas pria yang akrab disapa Ceda itu. ’’Anak muda kurang berminat ikut yang bahasa mandarin. Sebab ada pilihan misa berbahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami,’’ paparnya. Sebelum Covid-19 menyerang, peserta misa mandarin jauh lebih banyak. Namun, selama pandemi, ada yang meninggal. Ada juga yang belum berani keluar rumah. Sehingga kini yang datang tak sampai separonya.Romo Kanisius Rudy CDD menyampaikan salam perpisahan kepada Harian Disway seusai wawancara.-TIRA MADA-HARIAN DISWAY- Hal tersebut dirasakan oleh Romo Kanisius Rudy CDD yang melayani misa sore itu. Bahwa umat yang datang berkurang. ’’Ada yang dulu datang untuk mengantar orang tua. Karena orang tuanya sudah meninggal, enggak datang lagi,’’ kata pastor kelahiran Pontianak, 13 Maret 1971 itu. Kami berbincang dengan Romo Kanisius seusai misa. Saat pastor tersebut hendak beranjak ke kediamannya di Paroki Santo Petrus dan Paulus, Mangga Besar, Jakarta. Ya, Romo Kanisius bukan gembala di Paroki Toasebio. Ia ditugaskan oleh Keuskupan Agung Jakarta untuk melayani kelompok kategorial di Glodok. Kelompok kategorial adalah persekutuan umat Katolik yang disatukan oleh berbagai hal. Mereka bisa mahasiswa yang berada dalam satu kampus, disatukan oleh profesi tertentu, atau punya latar belakang budaya tertentu. Nah , kebetulan sebagian umat di Paroki Toasebio disatukan dalam budaya Tionghoa. Mereka ingin tetap beribadah dan berdoa dalam bahasa ibu mereka: bahasa Mandarin. Di situlah Gereja Katolik hadir dan memberi ruang bagi umat tersebut. Dan Romo Kanisius cocok sebagai pelayan di situ. Maklum, ia kuliah di Taiwan pada 1996-2003. Ilmu filsafatnya diperoleh di St Thomas University dan ilmu teologi diraih di Fu Ren University. ’’Tapi, saya ditahbiskan di Pontianak. Tahun 2006,’’ katanya. Menurutnya, misa berbahasa mandarin tidak berbeda dengan misa yang lain. Sama seperti misa berbahasa Jawa di Yogyakarta. Atau misa berbahasa daerah di tempat-tempat lain. Semuanya terwadahi oleh Gereja Katolik yang universal. ’’Kalau mereka merasa lebih kuat imannya dengan berdoa dalam bahasa mandarin, ya itu yang kami layani,’’ ucapnya. (*) *) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada. SERI BERIKUTNYA: Geliat Perniagaan Kembang Jepun