Series Jejak Naga Utara Jawa (17) : Geliat Perniagaan Kembang Jepun
Perbincangan Retna Christa (kanan) dengan Freddy H. Istanto di kantor Harian Disway sebelum menjelajahi Kembang Jepun. Di belakang mereka adalah lukisan Kembang Jepun karya Jansen Jasien.-Boy Slamet-Harian Disway-
Segregasi memantik tumbuhnya kawasan-kawasan pecinan. Enclave buat warga Tionghoa yang berkembang menjadi pusat-pusat perniagaan. Kalau Jakarta punya Glodok, Surabaya punya Kembang Jepun yang tak kalah legendaris.
---
TIDAK, tidak. Kita tidak sedang membicarakan Kya Kya yang sedang coba dihidupkan lagi oleh Pemkot Surabaya. Dengan kios-kios jajanan kekinian yang nyaris seragam. Juga seratus persen halal. Tidak. Jauh sebelum Kya Kya berdiri pada awal dekade 2000-an, Kembang Jepun sudah menjadi jalan yang superpenting.
’’Dulu pusat kotanya Surabaya, ya di situ. Itu kawasan bisnis elite dengan skala perdagangan yang besar sekali,’’ ungkap Freddy H. Istanto, pemerhati sejarah Kota Pahlawan. ’’Bahkan sampai sekarang pun perputaran uang di situ masih besar. Cuman, kebanyakan melayani pasar Indonesia Timur,’’ lanjutnya.
Siang itu, Rabu, 25 Januari 2023, Freddy menemani tim Jejak Naga Utara Jawa berjalan-jalan menjelajahi kawasan Surabaya Utara. Melewati Jalan Jagalan, lurus ke Tambak Bayan. Sebelum berhenti di Kembang Jepun, kami memutar sebentar ke Jalan Dukuh. Bablas ke Jalan Panggung. Menyusuri gang-gangnya yang terasa sedikit sempit untuk badan Honda CR-V Prestige yang kami kendarai.
Kami terus berkendara membelah pasar ikan Pabean. Yang sampai menjelang makan siang, masih begitu padat dan ramai aktivitas. Di sela-sela kios pedagang ikan, berdiri toko-toko parfum milik warga keturunan Arab. ’’Ini segala bau berkumpul jadi satu. Sebelah sini bau ikan, yang situ bau minyak wangi,’’ celetuk Freddy, lantas tertawa. Penasaran, kami pun membuka jendela mobil. Betul juga…
BACA JUGA: Misa Berumat Oma-Opa
Di sepanjang jalan itu, Freddy terus memperlihatkan rumah-rumah lawas yang khas di kalangan pedagang Tionghoa. Sempit, tapi memanjang ke belakang. Dan minimal dua lantai. Bagian bawahnya biasanya untuk toko, atasnya rumah tinggal. Balkonnya biasanya dipagari terali besi. Konsep ruko sudah ada awal abad ke-19.
Kembali ke Jalan Kembang Jepun, kami memarkir mobil. Lalu menyusurinya berjalan kaki. Pada pukul 11.00, sebagian besar toko tutup. Terasnya dipakai pedagang-pedagang kaki lima berjualan aneka makanan. Ada yang memang tutup permanen, ada juga yang sudah beralih fungsi menjadi gudang saja.
Beberapa yang masih buka adalah toko-toko spare part kendaraan bermotor. Ada juga toko listrik dan elektronik. Juga perlengkapan sekolah. Nama-namanya masih kuno. Penamaannya menggunakan istilah UD (Usaha Dagang). UD Bahagia Baru, UD Podo Madju, UD Sinar Abadi. Yang agak modern mungkin Citra Sukses Stationery. Menjual aneka rupa alat tulis.
Beberapa dekade yang silam—selain yang tersisa sekarang—jalanan itu masih dipenuhi toko-toko khas Tionghoa. Misalnya yang menjual perlengkapan sembahyangan (seperti hio, dupa, lilin), kios pemahat batu nisan (bong pai), obat-obatan, hingga kue-kue tradisional.
Sekarang, itu semua nyaris tak bersisa. Namun, mendekati gerbang sisi timur Kembang Jepun, terdapat dua toko kue yang berdempetan. Semuanya menjual pia dan kue bulan (tiong ciu pia dalam bahasa Hokkian). Yang satu bernama UD Kemenangan. Satunya lagi Gaya Bali. Di bawah nama toko itu ada nama yang lama: d/h Giok Liong Hoo/Tan Kie Sien.
’’Baik bangunan toko maupun resepnya sama-sama kuno. Entah sudah berapa generasi enggak pernah berubah,’’ jelas Freddy. ’’Kuno banget,’’ ia menegaskan.
Gerbang Jalan Kembang Jepun yang menjadi tetenger kawasan tersebut.-Boy Slamet-Harian Disway-
Menurut Freddy, founder Surabaya Heritage Society itu, kawasan Kembang Jepun merupakan warisan peninggalan Tionghoa yang berharga. Dilihat dari gaya bangunan, mungkin toko-toko di jalanan itu sama sekali tidak khas Tionghoa. Malah lebih mendekati gaya Eropa. Karena sebagian besar dibangun pada zaman Belanda.
Namun pengaruh terbesar Tionghoa yang paling penting di sana justru aktivitas perdagangan. Jalan yang dulu disebut Handelstraat itu—dan gang-gang sempit di sekitarnya—adalah pusat distribusi berbagai komoditas. Sebagian besar adalah bahan pokok. Beras, kopi, gula, cengkih, dan macam-macam lagi.
’’Makanya, di abad ke-18 sampai 19, orang-orang kaya Tionghoa mulai bermunculan. Ada saudagar kopi, saudagar gula, dan sebagainya. Makanya banyak rumah-rumah abu keluarga Tionghoa di sekitar sini,’’ jelas Freddy.
Tak hanya aktivitas niaga, di Jalan Kembang Jepun juga berkembang kelompok-kelompok atau perkumpulan pemuda Tionghoa. Diawali dari minat yang sama, mereka lantas membentuk komunitas sosial. Di seberang toko pia, ada gedung Eka Praya. Sekarang lebih dikenal sebagai penyedia jasa layanan kematian. ’’Dulunya ya perkumpulan,’’ ucapnya.
Hm, kira-kira bagaimana Kembang Jepun di masa jayanya ya? Ini akan kami ulas di edisi-edisi berikutnya. (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
SERI BERIKUTNYA: Pusat Bisnis Sekaligus Tempat Dugem
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: