Capaian ekonomi juga spektakuler. Apa saja di antaranya?
Di Jawa Timur lima tahun terakhir investasinya tertinggi di Indonesia. Pada 2022 saja, dari target investasi Rp 80 triliun, terealisasi Rp 110,3 triliun. Semua itu tentu memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan dan ekonomi masyarakat. Saya rasa tingginya investasi ini menjadi bagian dari penguatan ekonomi di Jawa Timur. Riset dari lembaga Lee Kuan Yew menyebut bahwa investasi di Jatim lebih efisien daripada investasi secara nasional.
Bagaimana dengan UMKM?
Dengan berbagai stimulus dan penguatan, UMKM kita memberikan kontribusi 57,81 persen dari PDRB, Sudah saatnya UMKM didukung dengan market yang lebih luas. Sekarang ini desa devisa di Jatim juga yang terbanyak. SK desa devisa ini diberikan langsung oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Saya sering blusukan ke desa-desa devisa tersebut dengan mengajak perwakilan dari berbagai lembaga.
Dengan menjadi desa devisa, mereka mendapat pendampingan produk, akses modal, dan bantuan mendapat akses pasar internasional. Ada berbagai syarat untuk menjadi desa devisa. Yakni desa itu memiliki produk hasil ciptaan sendiri, punya keunikan, punya pasar ekspor, dan dilakukan banyak orang di satu desa disertai adanya kelembagaan atau kelompok yang mendukung. Misalnya di Tuban ada dua desa penghasil kain gedog. Di Blitar desa penghasil kendang jimbe. Atau ada desa penghasil kopi Kare di Madiun serta penghasil manik-manik di Jombang. Jadi selain kita menarik investor masuk ke Jawa Timur, juga harus punya kekuatan sendiri berbasis kreativitas lokal.
Selain desa devisa juga ada desa wisata. Ini bagian dari capaian ekonomi Jatim?
Kita punya program Dewi Cemara. Desa wisata cerdas, mandiri, dan sejahtera. Itu sebenarnya programnya Gus Ipul (Mantan Wagub Jatim Saifullah Yusuf, Red). Saya minta izin untuk memakainya. Desa-desa wisata itu di-upgrade sehingga lebih bagus, setidaknya Instagramable. Perangkat desa dan karang taruna juga dilibatkan. Setiap tahun ada festival desa wisata. Tahun ini diadakan Maret.
Saat kampanye dulu ada sembilan janji Khofifah-Emil yang dikenal dengan Nawa Bhakti Satya. Bagaimana itu dijalankan?
Semua program SKPD harus berorientasi untuk melaksanakan Nawa Bhakti Satya tersebut. Itu ada indikatornya dan sangat terukur. Bahkan dikompetisikan antar organisasi perangkat daerah. Dari Nawa Bhakti Satya itu di-breakdown lagi menjadi indeks kinerja utama. Dan itu dipertanggungjawabkan ke DPRD.
Sekarang ini kita juga mem-breakdown IKI (inisiasi, kolaborasi, dan inovasi). Optimis Jatim Bangkit itu juga di-breakdown.
Soal Jatim Bangkit, Jatim sukses melewati pandemi Covid-19. Apa yang dulu Anda lakukan?
Saya keliling waktu itu. Setiap minggu kita Gowes PEN (pemulihan ekonomi nasional). Misinya menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa meskipun mobilitas terbatas tetap harus semangat dan produktif. Misal di daerah kita gowes 3 km, lalu ada pasar UMKM. Lalu finis di pendapa ada BPN bagi-bagi sertifikat tanah, Bulog bagi-bagi bantuan, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan juga begitu. Semua lembaga berbagi program. Juga ada Himbara, Bank Syariah Indonesia, Bank Jatim, Bank UMKM, Bank Indonesia, hongga OJK. Semua ikut turun berkolaborasi.
Dalam rakornas 2023, presiden menyampaikan empat hal yang menjadi concern tahun ini: pengendalian inflasi, kemiskinan ekstrem, stunting, dan investasi. Untuk stunting, bagaimana kondisinya di Jatim?
Stunting nasional saat ini 21,6 persen. Di Jatim 19,2 persen. WHO memiliki standar maksimal stunting 20 persen. Jadi Jawa Timur sudah di bawah angkat WHO dan nasional. Target nasional pada 2024 adalah 14 persen.
Beberapa kendala kadang ada selegenje (tidak sinkron) antara data BKKBN dan BPS. Meskipun metode yang dipakai sama-sama sah dan benar. Saya meminta BKKBN agar memakai metode yang sama. Meskipun datanya sah, saat rakor menjadi persoalan sendiri.
Lalu ada beberapa bupati yang tidak mau disebut wilayahnya disebut ada kasus stunting. Mereka memilih istilah potensi stunting. Katanya, Bunda ini bukan stunting, tapi potensi stunting. Beberapa daerah cukup bagus pencegahan stuntingnya. Surabaya salah satunya. Sebab, di Surabaya "dikeroyok" ramai-ramai, ada UNICEF dan lain-lain. Malang saya rasa juga berpotensi untuk "dikeroyok" ramai-ramai seperti Surabaya.