Mario vs David, Hilangnya Sikap Kesatria

Senin 27-02-2023,18:38 WIB
Reporter : Djono W. Oesman

Ucapan Mahfud sependek itu ternyata berdampak. Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jakarta Selatan, kepada pers Jumat (24/2), menyatakan bahwa KPK akan memeriksa Rafael dalam waktu dekat. ”Segera,” ujarnya.

Tapi, mengapa Rafael dan istri (mereka sudah menjenguk David di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan, dan siap menanggung biaya pengobatan) tidak mengajari Mario bersikap kesatria? 

Buat keluarga Rafael, mengajari anak bersikap kesatria pasti tidak sulit. Dalam kapasitas mereka. Kecuali bagi rakyat Indonesia yang rata-rata miskin. Miskin harta miskin ilmu (merujuk data Badan Pusat Statistik hasil sensus penduduk 2020, rata-rata lama sekolah populasi Indonesia 8,7 tahun pria dan 8,5 tahun wanita. Atau, rata-rata putus sekolah di kelas III SMP).

Maggie Dent, dalam bukunyi yang bertajuk From Boys to Men: Guiding Our Boys to Grow into Happy, Healthy Men (2021), menjabarkan cara mendidik anak laki-laki agar bersikap sopan dan kesatria. Sejak balita sampai dewasa muda (seusia Mario Dandy). Buku itu best seller di Amerika Serikat. Bahwa anak tak cukup diberi makan dan harta (Rubicon, HD), tapi dididik ortu. Selain sekolah.

Diurai, anak lelaki sejak bayi secara kultur dan universal cenderung agresif. Suka agresi, tapi bukan kekerasan (violence). Awalnya, balita lelaki agresi terhadap lelaki dan perempuan. Kemudian, ortu mengajari bahwa fisik perempuan lebih lemah daripada lelaki. Maka, harus dilindungi, dihormati.

Lalu, anak lelaki berkembang, agresi terhadap sesama lelaki. Agresi dalam arti, agar terhubung dan bersenang-senang dengan anak lelaki lain. Misalnya, berloncatan, main kasar, saling dorong, terjatuh, adalah biasa. Lumrah. 

Saat itulah ortu mengajari ke anak, ”Terpenting, saat mendorong anak lain, tidak berniat menyakiti. Tapi bergurau.”

Sangat penting untuk tidak menghukum anak lelaki saat mereka secara tidak sengaja menyakiti anak lelaki lain ketika bermain secara fisik. 

Ortu wajib menjelaskan kepada anak lelaki balita, bahwa bentuk permainan kasar secara fisik hanya dapat diterima oleh anak laki-laki lain, bukan anak perempuan. 

Dent: ”Mengingat, dorongan naluriah lelaki diwarisi dan berlanjut sejak masa manusia tinggal di gua, adalah untuk membunuh mammoth (gajah purba) sebagai makanan. Lelaki tidak takut. Maka, bentuk permainan kasar berasal dari asal biologis manusia sebagai pola dasar.”

Dent, 67, adalah guru SMA di Australia, punya empat anak lelaki yang kini sudah pada dewasa. Dia menulis banyak buku tentang pendidikan anak.

Dalam bukunyi, Dent menyitir teori Michael Gurian dalam bukunya yang berjudul Saving our Sons (2017).

Kalimat di buku Gurian yang dikutip, berbunyi ”Pendekatan laki-laki terhadap persahabatan dan cinta berbeda dari perempuan. Laki-laki menekankan tantangan dan pengejaran keberanian bersama lelaki lain, dan ikatan semacam ini sangat penting untuk kelangsungan hidup dan perkembangan manusia. Sejak purba hingga kini.”

Dent dan Gurian sama-sama menarik garis karakter lelaki sejak manusia purba. Masih tampak sekarang.

Problem baru muncul jika satu anak lelaki merasa diperlakukan salah atau tidak dihargai oleh anak laki lain. Saat itulah, bentuk permainan bisa berubah dari agresif persahabatan menjadi kekerasan .

Saat itulah, ortu anak lelaki yang berperilaku tidak menghargai teman lelakinya menasihati, bahwa anak tersebut sudah melanggar batas. Yakni, niat tidak menghargai teman itu adalah menyakiti (hati) temannya. Itu perilaku salah. Sebab, anak yang tersakiti bakal membalas. Akhirnya terjadi kekerasan. Bisa brutal. Sebab, mereka keturunan pemburu mammoth.

Kategori :