Detail-detail pada rumah Herwanto Siswadi di Jamblang, Cirebon, bisa menjadi daya tarik wisata yang khas. Tetapi, kondisinya yang nyaris tak tersentuh renovasi bisa jadi buah simalakama. Keasliannya terjaga namun makin lama makin lapuk tergerus waktu.
Series Jejak Naga Utara Jawa (38) : Tingkap Unik dan Gerendel Antik
Minggu 19-03-2023,13:34 WIB
Editor : Doan Widhiandono
TAK dinyana, Herwanto Siswadi ternyata sama sekali tidak keberatan saat tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa ingin melihat-lihat rumahnya. Lelaki 68 tahun itu langsung beranjak ke sayap kiri bangunan. Sisi selatan.
Di situ ada pintu yang terdiri atas bilah-bilah kayu. Warna putihnya sudah mulai pudar. Nyaris hilang. Di beberapa bagian sudah tampak urat-urat kayu yang menonjol. Kentara sekali kalau di bagian itu sering tersentuh tangan.
Melewati pintu itu, langsung tampak halaman yang cukup luas. Rumput tumbuh di sana-sini. Ada pohon mangga yang tinggi. Juga kandang ayam dan sumur yang terletak di seberang halaman. Mepet dengan tembok belakang tetangga.
BACA JUGA : Mencari Gairah di Bangunan Tua
Di sebelah kanan halaman itu ada bangunan yang besar pula. Rumah dengan koridor menghadap ke halaman. Berbagai barang terlihat berserak di situ. Beberapa perangkat meja makan hingga aneka perabot dapur. Terlihat berantakan.
’’Di sini dulu dipakai syuting Ferry Salim,’’ ucap Herwanto. Kala itu, Ferry sedang membintangi serial televisi Lo Fen Koei. Ini adalah kisah percintaan kaum peranakan pada awal abad ke-20. Intrik bisnis—termasuk bisnis candu—membuat kisah asmara itu makin pelik.
Bagian dalam rumah Herwanto Siswadi yang pernah dipakai syuting Lo Fen Koei.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Layak memang kalau rumah Herwanto jadi tempat syuting. Strukturnya masih tampak klasik. Konstruksi rangka kayunya terlihat begitu asli. Seperti tidak berubah sejak dibangun sekitar 118 tahun silam.
Dalam perjalanan ke luar rumah, rupanya Herwanto ingin memamerkan satu hal: cara mengunci gerbang kayu yang kami lewati sebelumnya. Prinsipnya sederhana. Yakni, ada dua bilah kayu melintang yang dimasukkan pada selot besar. Kayu itu berfungsi sebagai gerendel.
Yang unik adalah cara mengancingnya. Di situ tidak tampak ada lubang kunci. Atau gembok. ’’Ini caranya,’’ kata Herwanto. Tangannya meraih ke salah satu pangkal selot di bagian bawah. Di situ ada tuas kayu yang bisa naik-turun. ’’Pas naik, gerendel ditutup. Setelah itu, otomatis kuncinya turun. Gerendelnya tidak bisa dicabut,’’ terangnya.
Kalau mau membuka, tinggal tekan tuas itu. Sambil menekan tuas, tangan mencabut satu bilah gerendel.
Herwanto juga memamerkan jendela bangunan yang ada di sayap utara rumahnya. Ia menyebutnya sebagai jendela tiam tang. Memang unik. Daun jendelanya ada dua. Tidak di kanan-kiri melainkan atas-bawah. Tingkap yang bawah akan langsung ’’jatuh’’ ke bawah dan menempel ke dinding. Sedangkan tingkap atas akan membentuk semacam kanopi ketika dikaitkan ke langit-langit.
Keelokan arsitektur itulah yang ’’dijual’’ melalui peta Desa Wisata Jamblang. Ada tiga rumah yang dimasukkan di dalam peta tersebut. Selain itu, ada juga Gedung Pertemuan Desa Jamblang yang terletak persis di seberang Kelenteng Jamblang. Herwanto pun mengajak kami ke sana. Menyeberangi tanah lapang yang terdapat pohon beringin di tengah-tengahnya.
Gedung Perhimpunan Dana Setia Bakti, tempat pertemuan warga Pecinan Jamblang Cirebon, yang terletak di seberang lapangan.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Berdasar catatan pada peta, gedung pertemuan itu sudah ada sejak 1758. Luasnya 522 meter persegi dan berdiri pada lahan seluas lebih dari 1.100 meter persegi. Bangunan itu adalah sebuah rumah tua Tionghoa yang menekankan pada konsep manusia dan alam. Jendelanya besar. Tidak untuk membatasi interior dan eksterior, tetapi sebagai koridor penghubung isi rumah dan alam sekitarnya. (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada
Kategori :