DUNIA kerja kita memasuki babak baru perkembangan teknologi. Di dunia pendidikan, dosen artificial intelligence (AI) kali pertama diluncurkan. Penggunanya, Universitas Teknokrat Indonesia (UTI), Bandar Lampung, mulai 25 April lalu. Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta Jakarta juga ”merekrut” empat pegawai AI untuk menangani komunikasi dan kehumasan.
Saat ini UTI maupun Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta mengklaim pegawai AI itu tidak menggantikan pegawai manusia secara keseluruhan. Mereka menyebut AI-AI itu akan membantu pekerjaan, baik dosen maupun pegawai komunikasi dan kehumasan, agar lebih efisien dan efektif.
Itu, tentu saja, karena tahap awal. Ke depan semua fungsi dan tugas dosen tentu bisa dikerjakan dosen AI tersebut. Dosen AI yang bernama Alpha itu dibuat mirip dosen terbaik UTI. Proses pembuatannya dimulai dengan mengumpulkan perilaku dan cara pengajaran dosen-dosen terbaik UTI. Data diproses dan dianalisis tim ahli AI yang dibantu teknologi AI.
Selanjutnya, dibangun model AI yang dapat meniru perilaku dan cara pengajaran dosen-dosen yang menjadi model. Dosen AI itu terus disempurnakan dengan pelatihan dan pengujian sehingga benar-benar dapat memberikan pengajaran yang sama dengan dosen terbaik yang menjadi model.
Dosen AI tersebut tentu punya banyak kelebihan. Dari sisi bahasa, misalnya. Alpha bisa memberikan perkuliahan dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, hingga bahasa Mandarin. Tinggal disesuaikan saja dengan bahasa mahasiswanya. Profil dosen AI itu pun dibuat sebagai sosok dosen pria muda yang energik, pintar, dan good looking sehingga cukup menarik.
Dosen AI itu bisa menjadi solusi luar biasa bagi kampus-kampus yang tak memiliki banyak dosen. Bisa dipekerjakan 24 jam nonstop, bisa mengajar dengan baik, dan menjawab pertanyaan mahasiswa dengan jawaban akademis yang tepat.
Secara konsep, dosen AI itu tak ubahnya AI berbasis teks seperti ChatGPT atau openAI. Yang akhir-akhir ini memusingkan para dosen karena mahasiswa menggunakan AI itu untuk mengerjakan tugas. Pada dosen AI milik UTI tersebut, jawaban teks itu ditransfer ke suara sehingga jawaban tersebut tak ubahnya orang yang berbicara.
Teknologi AI kini memang luar biasa pintar. ChatGPT, misalnya, cukup andal untuk membantu pekerjaan akademik. Mencari jurnal bereputasi pada topik-topik yang diinginkan, misalnya. Juga, bisa menjawab pertanyaan dengan jawaban yang akademis. Bahkan, menjawab soal matematika, statistika, atau fisika yang sulit sekalipun. Tentu, ada kelemahan pada objek-objek tertentu yang minim informasi.
Dosen AI itu diciptakan dengan pemrograman deep learning dan natural language processing (NLP). Teknologi yang digunakan dalam pengembangannya adalah teknologi text-to-speech, yaitu teknologi yang mengubah teks menjadi audio.
Materi pembelajaran diatur dengan memasukkan teks ke dalam sistem, yang akan dihasilkan oleh teknologi untuk mengonversi teks tersebut menjadi ucapan melalui avatar. Ke depan dosen AI itu dapat memiliki interaksi dan ikatan emosional dengan mahasiswa.
Kelak, ketika dosen AI sudah sepintar Sophia, robot AI yang disebut-sebut yang terpintar di dunia, bisa jadi dosen AI jauh lebih pintar daripada dosen-dosen dengan pendidikan doktor atau profesor sekalipun. Sophia adalah robot AI yang diciptakan perusahaan robot asal Hongkong, Hanson Robotics. Diprogram dengan AI, Sophia memiliki tingkat kecerdasan yang setara dengan manusia ber-IQ standar.
Bahkan, Sophia memiliki sensitivitas yang mirip perasaan manusia. Bisa senyum, tertawa, dan menunjukkan ekspresi sedih bergantung situasinya. Bahkan, Sophia bisa belajar dari lingkungannya. Sebab, menurut penciptanya, Sophia tampak bicara sendiri dalam bahasa Rusia, padahal tidak pernah diprogram dengan bahasa itu.
Bisa Jadi Ancaman
Pengembangan dan penggunaan AI dalam berbagai kehidupan tampak begitu menjanjikan. Tapi, di balik itu, AI juga menjadi ancaman besar bagi manusia. Ilmuwan komputer Geoffrey Hinton mengingatkan bahwa kecerdasan buatan menimbulkan ancaman sangat serius. Lebih serius daripada ancaman perubahan iklim.