AI bisa menjadi teknologi tak terkendali. Yang lalu bisa menjadi pengacau teknologi global. Sifat manusia yang serakah dan sisi jahat manusia bisa memunculkan aktor-aktor jahat dalam menggunakan AI. Kecerdasan buatan itu bisa di-setting untuk melakukan kejahatan yang akhirnya sulit dikendalikan.
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Crime Science, para peneliti dari University College London menilai, deepfake bisa menjadi alat kejahatan paling berbahaya dalam 15 tahun ke depan. Teknologi rekayasa multimedia berbasis AI itu nantinya tak hanya dimanfaatkan untuk penipuan dan berbagai kejahatan. Jenis-jenis ancaman yang akan melibatkan AI meliputi penipuan, manipulasi teknologi pengenalan wajah, mesin perang tak berawak, dan robot militer.
Studi itu meminta sejumlah pihak dari kalangan keamanan siber, akademisi, kebijakan publik, dan sektor swasta mengikuti lokakarya yang mengharuskan mereka untuk menilai ancaman kecerdasan buatan. Bekerja dalam kelompok, mereka mengukur jenis kejahatannya berdasar tingkat keparahan ancaman: kerugian (bagi korban dan/atau bahaya sosial), criminal profit (realisasi tujuan kejahatan), pencapaian (seberapa mudah kejahatannya dilancarkan), dan defeatability (seberapa sulit kejahatannya dihentikan).
Setelah membandingkan 18 jenis ancaman AI, anggota kelompok sepakat deepfake adalah ancaman terbesar. Teknologi itu dapat menghilangkan kepercayaan yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan hidup masyarakat.
Di dunia kerja, AI juga bisa menjadi ancaman serius. Harga yang kian terjangkau akan membuat penggunaan AI sama atau lebih murah daripada tenaga manusia. Saat itu perusahaan akan lebih memilih AI karena punya kelebihan yang tak dimiliki manusia. Tak kenal lelah, tak kenal waktu, lebih objektif, dan sejumlah kelebihan lain dibanding manusia.
Jika itu terjadi, para pencari kerja harus bersaing dengan AI. Pengangguran akan makin sulit diatasi. Saat ini saja, Indonesia menghadapi persoalan serius minimnya penciptaan lapangan kerja. Bahkan, saat investasi masuk sangat tinggi seperti pada 2022. Artinya, investasi tak mampu menciptakan lapangan kerja baru. Investasi dan pertumbuhan ekonomi tinggi justru diikuti tingkat pengangguran yang tinggi pula.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir, nilai investasi yang masuk ke Indonesia terus meningkat, tetapi penciptaan lapangan kerja yang dihasilkan masih minim. Bahkan terus menurun. Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi Rp 1 triliun bisa menyerap 4.594 tenaga kerja. Namun, pada 2021, investasi dengan nilai yang sama hanya bisa menyerap 1.340 tenaga kerja.
Angka itu menurun lagi tahun 2022 yang hanya bisa menyerap 1.081 orang dari investasi Rp 1 triliun. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pun tetap tinggi. Per Agustus 2022 mencapai 5,86 persen atau 8,42 juta penganggur.
Saat ini AI memang baru membantu pekerjaan karyawan. Dosen AI baru membantu pekerjaan dosen. Tapi, penyempurnaan teknologi itu akan membuat AI bisa benar-benar mengerjakan semua fungsi dan tugas dosen. Bahkan, dengan berbagai kelebihan yang tak dimiliki dosen. Mengajar, mencari referensi, menulis buku, menulis paper, me-review proposal atau paper. Bahkan, melakukan pengabdian masyarakat dengan memberikan ceramah atau pelatihan-pelatihan kepada masyarakat. (*)
*) Wakil Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.