Alasannya sederhana, berobat ke Pak Tri langsung dilayani. Obatnya juga murah, sekali periksa mungkin hanya habis Rp 10 sampai Rp 20 ribu saja.
Apalagi Tri punya program menggratiskan 10 orang pasien setiap harinya. Ia juga mengkhitan puluhan anak setiap tahunnya. Semuanya gratis.
Khitan gratis juga dilakukan babinsa Koptu Adi Wijaya di Koramil 0829/12 Modung, bangkalan. Di desa binaannya, Koptu Adi melakukan khitan gratis. Itu ia lakukan dua kali dalam satu bulan. Di minggu kedua dan keempat.
Serda Ahmad Saiful dari Kodim Bangkalan yang melayani khitan gratis di desa binaannya.- Moch Sahirol Layeli-
Setiap kali meng-khitan, kuota yang diberikan adalah 20 anak. Itu karena keterbatasan obat yang dimilikinya. Tindakan itu dilakukan di dua desa binaannya: Desa Pakong dan Desa Alaskokon. Semua itu dilakukannya seorang diri.
Terkadang, ada rekannya sesama personel TNI AD yang membantu membagikan obat ke pasien. Ilmu khitan itu didapatnya ketika ia masih bertugas di satuan kesehatan. Sehingga, ia sangat memahami cara mengkhitan yang baik dan obat yang tepat untuk pasien yang baru saja dikhitan. Dananya dari kantong pribadi.
Kasus stunting juga terjadi di Gresik. Malah masih terbilang banyak. Di wilayah hukum Koramil 0817/07 Kebomas saja, setidaknya yang terdata oleh bintara pembina desa (Babinsa) Serka Izza Elmy, ada tujuh anak stunting.
Sejak awal dia bertugas di sana, target utamanya adalah mengurangi angka stunting. Mantan ajudan Dandim 0817/Gresik itu mengajak pemerintah dan swasta untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.
Salah satu yang dilakukannya adalah pemberian makanan bergizi setiap pagi. Semua makanan itu, diperoleh dari ahli gizi di rumah sakit (RS) Semen Gresik. Satu per satu dia memperhatikan tumbuh kembang anak. Dia mengajak bidan desa untuk memantau pertumbuhan anak-anak itu.
"Pemantauannya kami lakukan sebulan sekali. Melalui buku kontrol yang diberikan kepada orang mereka masing-masing. Awalnya posisi mereka ada di zona merah. Selama babinsa itu melakukan aksi itu, berat badan dan tinggi mereka mulai normal," kata akademisi Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo. (*)