Akhirnya, penjurian di tujuh kota telah usai. Saatnya pulang ke rumah masing-masing dan mengantarkan mobil Honda B-RV kesayangan ke kantor Harian Disway. Tapi sebelum itu, ketika mengantar Dosen Probo kembali ke rumahnya, di tengah jalan kami melihat restoran cepat saji. "Makan terakhir. Awe, lur!," kata Azka.
Pakai kata "makan terakhir" segala. Seolah-olah ia mau dihukum duduk di kursi listrik.
Sepakat. Kami berempat singgah di restoran itu, membungkus empat ayam goreng.
Tapi di situ, muncul keisengan kami. Keisengan pamungkas. Kami mengenakan jaket loreng pemberian Mayor Inf Kasrun. Lalu berfoto bersama. Barulah setelah itu kami beranjak. Mengantar dosen Probo, Azka, lalu ke kantor.
Perjalanan penjurian tujuh kota itu adalah pengalaman berkesan. Citra tentara yang identik dengan wibawa dan ketegasan, ternyata punya kepedulian besar terhadap masyarakat. Bagi kami, semua babinsa adalah pemenang. Jika pun tak juara, mereka semua tetap pemenang. Paling tidak, mereka telah berhasil memenangkan hati warga dampingannya masing-masing.
Kontribusi para babinsa itu sangat besar. Di tangan mereka, masyarakat berdaya. Anak-anak memiliki bekal pengetahuan serta pendidikan karakter. Remaja tumbuh menjadi insan yang cinta tanah air dan terampil. Pelaku UMKM mampu mandiri. Mereka yang membutuhkan uluran tangan menjadi sangat terbantu.
Di balik tampilan yang gagah, ada dedikasi untuk berkarya bagi warga. Bagi kemanusiaan. Prajurit yang siap berjuang di medan tempur, dan di masa damai, mereka siap berjuang dengan tangan terulur.
Seperti kata Jenderal Soedirman: Tak ada yang lebih kuat dari kelembutan. Tak ada yang lebih lembut dari kekuatan yang tenang. (*)
Terbentur Jadwal Juri Akademisi, Tim 2 Undur Keberangkatan. Baca edisi besok..