Tidak beberapa lama, Tri sudah kembali. Dengan sigap bintara dengan tinggi sekitar 170 cm itu membantu anak-anak turun dari mobil. Mereka langsung diarahkan ke aula.
Sertu Tri langsung memulai kegiatannya. "Hari ini kita belajar tentang uang," kata Tri sambil mengangkat beberapa lembar uang. Pecahan Rp 100 ribu, Rp 20 ribu, Rp 5 ribu, dan Rp 2 ribu.
Kesabaran Tri beberapakali diuji. Kita tidak akan melihat proses belajar mengajar seperti di sekolah pada umumnya. Seperti kata Mayo Lian, butuh hati yang kuat. Tidak mudah untuk menertibkan mereka. Beberapa anak tiba-tiba maju mengambil uang yang dipegangnya. Belum lagi ada yang asik bermain dan mengganggu temannya.
Tri juga memberikan kami kesempatan untuk melihat lebih banyak proses pembuatan batik ciprat. Katanya keunikan batik ciprat motif ya tidak bisa ditiru. Karena setiap orang pasti berbeda hasilnya saat mencipratkan tinta ke kain batik. Motifnya akan limited edition.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Kami harus segera meninggalkan Pakisaji. Karena hari ini masih ada dua lagi sasaran kami. Yakni di Kota dan Kabupaten Blitar. Tiga kota ini harus selesai dalam satu hari. Sesuai jadwal.
Sebelum meninggalkan Pakisaji, kami ditawari melihat galeri tempat hasil kerajinan anak-anak binaan Sertu Tri dijual. Kami sempat menolak dengan pertimbangan waktu. Namun, karena tempatnya tidak jauh dan searah jalan menuju Blitar, akhirnya kami menerima ajakan itu.
Tri menunjukan hasil karya anak-anak disabilitas. "Ini tinggal sisanya. Kemarin diborong sama pak KASAD," ujarnya.
Sambil menikmati suguhan kelapa muda di stand UMKM Disabilitas (Anak Hebat), perbincangan kami berlanjut. "Saya mengajarkan soal uang itu supaya saat mereka jualan gini gak dibohongi orang. Banyak lho yang tega bohongi mereka," cerita Tri.
Kedepannya Tri berencana membuat sekolah khusus anak dibalitas. Untuk legalitasnya, ia telah membuat yayasan yang diberi nama Kartika Mutiara.
Tepat jam 13.00, kami meninggalkan Pakisaji menuju Blitar. Di dalam mobil, pak Pudjio menceritakan aksi Tri saat menjemput anak-anak. "Saya sampai terharu mas. Yo sempet brebes mili (menangis) melihat anak-anak dan keteguhan hati pak Tri. Gak semua orang bisa seperti dia (Tri)," ucap juri akademisi dari Universitas Airlangga (Unair).
Kami melanjutkan perjalanan dengan rasa bangga. Bangga karena bangsa ini masih memiliki babinsa seperti Sertu Tri Djoko. (*)
Berpacu dan Mengejar Waktu ke Blitar. Baca edisi besok.