ADA satu ungkapan yang cukup agamis dalam khazanah falsafah Tiongkok klasik. Bunyinya: "生死有命,富贵在天" (shēng sǐ yǒu mìng, fù guì zài tiān). Terjemahan bebasnya kira-kira: hidup, mati, kaya, dan berkedudukan mulia, Tuhanlah yang menentukan semuanya.
Ya, nasib manusia memang tak ada yang tahu. Yang mengetahui dan mempunyai "hak veto" atas segalanya hanyalah Yang Mahakuasa di atas sana. Sebagaimana dinyatakan Zhuge Liang, ahli strategi masyhur Zaman Tiga Negara, "谋事在人,成事在天" (móu shì zài rén, chéng shì zài Tiān): manusia mengikhtiarkan, Tuhan menetapkan.
Setidaknya, itulah pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan hidup Yudil Chatim yang kini menjabat atase pendidikan dan kebudayaan (atdikbud) di KBRI Beijing.
Yudil bercerita, ia mulanya tidak menganggap Tiongkok sebagai negara yang layak diperhitungkan. Di kisaran tahun 2006, benaknya masih dipenuhi oleh stereotype negatif terhadap Negeri Panda.
Makanya, waktu ia diminta Fasli Jalal, mantan wakil menteri pendidikan dan kebudayaan yang merupakan atasannya kala itu, untuk melanjutkan kuliah di Tiongkok, Yudil dongkol sekali.
"Bayangkan, di tahun 2006 itu saya sudah mau ambil S-2 ke Australia. Tapi Pak Fasli menghendaki saya ke Tiongkok. Saya kecewa betul. Karena yang ada di kepala saya saat itu Tiongkok adalah negara yang tidak bagus. Saya kemakan informasi dan berita-berita jelek tentang Tiongkok di berbagai media," ungkap Yudil.
Namun, Fasli terus menyakinkan Yudil. "Dil, kalau Yudil kuliah S-2 di Australia, mungkin Yudil masih akan nobody. Karena di Kemendikbud ini yang alumni Australia, Singapura, Eropa, dan Amerika sudah banyak sekali. Tapi kalau Yudil mau kuliah di Tiongkok, yang lumayan berat dan menantang, Yudil Insya Allah akan jadi somebody sepulangnya nanti," kata Yudil menirukan Fasli.
Meski dengan hati yang masih ragu, Yudil akhirnya berangkat ke Tiongkok untuk menimba ilmu di Central China Normal University, Wuhan.
"Ternyata, setelah empat bulan saya kuliah di Wuhan, mindset saya terhadap Tiongkok langsung berubah. Dengan melihat sendiri kehidupan dan sosial budaya masyarakat Tiongkok, pemahaman saya tentang Tiongkok jadi berubah 180 derajat," ujar Yudil yang punya nama Mandarin Li Jian 李健.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Model Asal Malaysia Manvin Khera: Shi Shang Wu Nan Shi, Zhi Pa You Xin Ren
BACA JUGA:Sterina Siap Bantu Pemerintah Ekspor Manggis ke Australia
Dari situ Yudil sadar, pandangannya terhadap Tiongkok telah berat sebelah. "Saya merasa bersalah karena hanya memercayai informasi dan berita dari satu sisi tanpa terlebih dahulu mengonfirmasi informasi dan berita tersebut," sesal Yudil.
Mengutip pepatah Tiongkok, Yudil berkesimpulan, "百闻不如一见" (bǎi wén bù rú yī jiàn): mendengarkan seratus kali, akan kalah akurat dengan menyaksikan sendiri walau cuma sekali.
"Intinya, seeing is believing. Setelah saya datang, melihat, dan merasakan sendiri tinggal di Tiongkok, saya baru menyadari ternyata Tiongkok tidak sejelek yang diberitakan atau diinformasikan banyak orang selama ini," terang Yudil.
"Dan sekarang, saya malah menjadi atdikbud di Tiongkok. Anak-anak saya juga berkuliah di Tiongkok," tambah Yudil lantas tertawa. (*)