Kuda Troya Teknologi

Jumat 30-06-2023,17:37 WIB
Editor : Doan Widhiandono

DULU , dulu sekali, sekitar tiga dekade silam, ada ujian khas di SD. Namanya: mencongak. Di ujian ini, semua siswa harus menjawab cepat pertanyaan guru. Biasanya, yang ditanyakan adalah hitung-hitungan sederhana. Bisa perkalian, penjumlahan, atau operasi matematika yang lain.

 

Dulu, dulu sekali, juga kerap muncul gerutuan semacam ini di beberapa guru: ’’Jangan bergantung pada kalkulator? Masak nanti kamu bawa kalkulator ke mana-mana? Ayo, harus hafal perkalian!”

 

Dan faktanya, saat ini orang ’’membawa kalkulator’’ ke mana-mana. Memang bukan kalkulator jadul ala warung toko kelontong. Tapi, kalkulator digital yang menelusup di dalam telepon pintar atau jam tangan pintar.

 

Teknologi berkembang. Tak terbendung. Oranglah yang kemudian menyesuaikan diri. Seperti tes mencongak yang terasa tidak lagi relevan. Karena memahami jauh lebih penting daripada sekadar menghafal.

 

Kemajuan teknologi itu memang mengubah begitu banyak hal. Mbah Google yang “tahu apa saja” sudah menggantikan ’’buku sakti’’ Ringkasan Pengetahuan Umum Populer (RPUL) yang dulu sangat laris.

 

Yang kini sedang diperbincangkan adalah kehadiran ChatGPT. Inilah program yang didukung sebuah kecerdasan buatan ( artificial intelligence /AI) produksi OpenAI. Program ini mampu menciptakan kata, kalimat, tulisan yang begitu natural.

 

Banyak yang mengkhawatirkan kehadiran ChatGPT tersebut. Program pintar itu bisa mengubah masyarakat. Bisa menghapus banyak pekerjaan manusia yang berkaitan dengan tulis menulis. Sebut saja, jurnalis, sekretaris, hingga profesi lain yang terkait kepenulisan kreatif.

 

Di lingkungan kampus, ChatGPT bisa ’’sangat membantu’’ mahasiswa—bahkan juga dosen—yang memerlukan tulisan secara cepat. Tinggal ketikkan perintah sederhana, maka si ChatGPT akan membuatkan tulisan itu untuk Anda.

 

Dan hasilnya pun oke. Artinya, tulisan itu seperti tidak ada masalah. Pengetikannya rapi. Tutur bahasanya baku. Logika dasarnya pun masuk. Benar-benar sesuai dengan common sense . Jika disaksikan sepintas—atau bahkan secara seksama—karya ChatGPT sangat natural. Seperti dibuat oleh manusia.

 

Sam Altman, CEO OpenAI, mengakui hal tersebut. Bahwa ChatGPT bisa merevolusi dunia pendidikan. Dalam sebuah forum di Tokyo, Jepang, Altman mengatakan bahwa jagat pendidikanlah yang harus berubah. Setidaknya, bentuk-bentuk tugas untuk siswa harus berganti. Juga cara mengevaluasi tugas tersebut.

 

Para pendidik harus berpikir lebih keras. Tidak ada lagi tugas ’’standar’’ semacam: buatlah karangan tentang pentingnya literasi digital di era saat ini . Jika tugasnya semacam itu, tak satu menit tugas itu sudah rampung. Yang mengerjakan adalah ChatGPT.

 

BACA JUGA : ChatGPT Masuk ke Dunia Pendidikan, Teknik Pengajaran dan Evaluasi Harus Berubah

BACA JUGA : Kecerdasan Buatan Baidu Pesaing ChatGPT

 

Kekhawatiran besar soal ChatGPT itu ternyata juga menjangkiti para legislator di Uni Eropa. Dan mereka sudah membuat langkah bersejarah, Rabu, 14 Juni 2023. Untuk kali pertama, ada rancangan undang-undang yang mengatur kehadiran kecerdasan buatan tersebut.

 

Dilansir Agence France-Presse , para regislator itu begitu percaya diri. Mereka bilang bahwa undang-undang mereka akan menjadi standar global untuk menghadapi kecerdasan buatan.

 

Yang menjadi pusat perhatian mereka adalah deepfake , gambar buatan AI yang bisa tampak begitu hidup. Video-video palsu ini bisa dipakai untuk menyebarkan informasi yang palsu pula.

 

Kecerdasan buatan berbasis teks juga cukup mencemaskan. Mesin-mesin itu bisa digerakkan untuk menghasilkan naskah berisi informasi menyesatkan. Yang kemudian disebarkan lewat media-media sosial. Langsung masuk ke relung-relung privat para penggunanya.

 

Dalam rancangan undang-undang itu, para legislator di Eropa juga menyusun daftar kecerdasan buatan yang bisa membahayakan manusia. Terutama di bidang pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, dan penentuan kebijakan publik.

 

Bagi sebagian orang, penyusunan undang-undang itu mungkin akan terasa kolot. Wong teknologi kok dibendung? Bukankah teknologi itu hadir untuk memudahkan kehidupan manusia? Bukankah teknologi sejatinya adalah kepanjangan tangan manusia?

 

Yang tidak bisa disangkal, banyak pula mereka yang menyambut baik kehadiran ChatGPT itu. Termasuk beberapa mahasiswa yang sempat saya ajak berdiskusi. ’’Lumayan, bisa menambah jumlah kata untuk latar belakang, Pak.” ’’Tidak perlu repot membikin kalimat, Pak.”

 

Kalimat-kalimat semacam itulah yang muncul dalam diskusi santai tersebut.

 


LOGO OPENAI terpantul pada pupil mata seseorang dalam sebuah pemotretan di Paris, 6 Juni 2023.-JOEL SAGET-AFP-

 

Saya yang begitu penasaran pun mencoba ChatGPT. Saya tes. Karena saya jurnalis, program pintar itu saya ’’tugasi’’ membuat berita. Hasilnya oke. Artinya, tidak buruk. Tetapi juga standar. Tidak bisa menghasilkan berita yang tata kalimatnya lincah. Tetap tidak bisa seperti orang bercakap-cakap. Juga tidak bisa memberikan rasa personal pada berita tersebut. Semuanya terasa begitu mekanis. Rapi. Tapi bukan manusia.

 

Karena saya juga pengajar, saya ’’menyuruh’’ ChatGPT itu untuk membuat artikel sederhana. Hasilnya juga oke. Tidak buruk. Sampai akhirnya ketemu kekurangannya. Yakni, soal akurasi. Data-data yang disampaikan dalam artikel itu ’’bukan data’’. Ia seolah-olah data. Tetapi hanya menyarikan apa yang ada di jagat internet. Seperti comot sana-comot sini. Lalu ditata dengan halus. Sangat menjebak.

 

Saya juga menyuruh ChatGPT untuk membuat puisi, cerpen sederhana, bahkan lirik lagu. Semuanya oke. Tetapi standar. Tidak spesial.

 

Sejumlah media menyebut bahwa ChatGPT saat ini masih dalam format ’’primitif’’. Artinya, ia bisa berkembang menjadi jauh lebih dahsyat di masa depan. Kecerdasan buatan itu bisa menjadi cerdas beneran sedangkan manusia yang menjadi tidak cerdas. Mungkinkah?

 


IKON-IKON aplikasi berbasis kecerdasan buatan terpasang di sebuah telepon pintar di Vaasa, Finlandia, 6 Juni 2023.-OLIVIER MORIN-AFP-

 

Kehadiran teknologi saat ini memang seperti berada di persimpangan. Antara menjanjikan atau membahayakan. Antara membantu atau menjerumuskan. Semuanya bergantung pada kita sebagai pengguna tatkala meniti persimpangan itu.

 

Dalam analogi lain, teknologi bisa mewujud menjadi kuda Troya. Dalam legenda Yunani, kuda Troya adalah pemungkas perang Yunani melawan Troya (Troy) yang berlangsung lama sekali. Hingga akhirnya, pasukan Yunani melakukan trik ini: Mereka membangun kuda kayu raksasa yang sangat indah lalu meletakkannya di gerbang kota Troya.

 

Pasukan Troya mengira Yunani sudah mundur dan menyerah. Kuda kayu itu pun dimasukkan ke dalam kota. Mereka berpesta semalam suntuk. Tanpa pernah tahu bahwa di dalam kuda kayu itu bersembunyi puluhan pasukan khusus Yunani. Saat Troya lengah, pasukan khusus itu keluar dari kuda itu dan menghancurkan Troya dari dalam.

 

Nah, ini memang jadi bahan perenungan. Bisa jadi, di dalam kemudahan teknologi itu ada sesuatu yang bersembunyi, yang membuat kita lengah hingga akhirnya dihancurkan dari dalam oleh teknologi tersebut… (*)

 

*) Penulis adalah dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan wakil pemimpin redaksi Harian Disway .

Kategori :