Di luar tujuan yang dipaparkan di atas, sudah tentu masih banyak manfaat lain yang bisa dipetik mahasiswa maupun masyarakat dalam kegiatan BBK. Masalahnya tinggal bagaimana mau mereposisi dirinya yang semula mungkin terbiasa bergantung pada dukungan orang tua menjadi pribadi-pribadi yang mandiri dan peka dalam membantu masyarakat memberdayakan komunitasnya.
Kesulitan yang dihadapi mahasiswa peserta KKN internasional maupun BBK adalah tidak mampu mereposisi dirinya, bersikap kaku, dan tidak mau belajar dari apa yang ada di lingkungan sosial tempat mereka turun ke lapangan.
Learning from the People
Dengan terjun langsung dan tinggal bersama masyarakat, manfaat yang segera dirasakan mahasiswa niscaya adalah tumbuhnya empati. Mahasiswa yang selama ini hidup di kota besar dan tidak memahami dengan baik kehidupan masyarakat desa, apalagi masyarakat miskin, tentu tanpa sadar berjarak dalam menyikapi lingkungan sosialnya.
Chambers (1983) menyatakan, ada enam prasangka tentang masyarakat (miskin dan kemiskinan) yang sering kali muncul di kalangan masyarakat menengah ke atas –tak terkecuali mahasiswa. Enam prasangka itu adalah: prasangka keruangan, prasangka proyek, prasangka kelompok sasaran, prasangka musim kemarau, prasangka diplomatis, dan prasangka profesional.
Sering terjadi, para elite dan orang-orang kota seperti para mahasiswa tidak memahami dengan baik kehidupan masyarakat desa dan masyarakat rentan karena mereka sehari-hari jarang berkunjung ke desa-desa pelosok, bias dalam memandang siapa yang seharusnya dibantu, dan kerap pula terjebak pada sikap basa-basi yang tidak perlu. Dengan KKB, berbagai kesulitan yang muncul diharapkan akan dapat diatasi melalui kegiatan turun langsung dan belajar bersama masyarakat.
Dengan tinggal lebih lama dan pergi lebih jauh ke berbagai pelosok dan daerah rawan, mahasiswa niscaya akan dapat mengembangkan apa yang disebut dengan istilah learning from the people –bukan learning about the people. Dengan bersedia belajar dari potensi dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat lokal, mahasiswa diharapkan lebih memahami keterbatasan dirinya, sekaligus memahami kelebihan masyarakat desa tempat mereka melaksanakan BBK.
Colletta (1987) menyatakan, kebudayaan masyarakat lokal sesungguhnya adalah media yang memungkinkan pembangunan berlangsung dengan sukses. Mahasiswa yang BBK ke desa niscaya tidak akan sukses jika mengabaikan eksistensi budaya lokal.
Secara garis besar, ada tiga alasan mengapa mahasiswa perlu memahami dan belajar dari keberadaan budaya lokal: (1) Unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang menjadi sasaran program pembangunan; (2) Unsur-unsur budaya secara simbolis merupakan bentuk komunikasi yang paling berharga dari penduduk setempat; dan (3) Unsur-unsur budaya mempunyai aneka-ragam fungsi –baik yang terwujud maupun yang terpendam– yang sering menjadikannya sebagai sarana paling berharga untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak di permukaan jika hanya dilihat dalam kaitannya dengan fungsinya yang terwujud saja.
Melalui BBK, mahasiswa akan berkesempatan belajar menembus sekat-sekat yang selama ini membatasi pola pikir mereka yang berbeda dengan cara pandang masyarakat lokal. Mahasiswa yang tidak pernah BBK atau KKN, mungkin cara pandang mereka akan tumpul dan kurang membumi.
Hanya dengan BBK mahasiswa akan berkesempatan untuk belajar tentang kehidupan, kemudian dapat mereplikasi apa yang menjadi keunggulan masyarakat lokal untuk diri sendiri setelah lulus kelak. Bagaimana pendapat Anda? (*)
Budi Santoso, dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Bagong Suyanto, dekan FISIP Universitas Airlangga.